
SERAYUNEWS – Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 184/TPA 2025, Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, melantik Uus Kuswanto sebagai Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi DKI Jakarta pada Senin, 1 Desember 2025.
Di ruang Balai Kota DKI, Pramono menyampaikan bahwa sosok Uus dipilih dengan pertimbangan matang: dibutuhkan seorang “administrator yang ulung, yang kuat” untuk membawa arah pembangunan Jakarta di masa transisi menuju kota global.
Dengan pelantikan ini, Uus menggantikan pejabat sebelumnya, Marullah Matali, yang memasuki masa pensiun.
Jabatan Sekda di DKI bukan sekadar posisi tinggi dalam birokrasi, tapi jembatan penting bagi implementasi kebijakan publik, koordinasi antar perangkat pemerintahan, dan pengelolaan kesejahteraan jutaan warga Jakarta.
Karier Uus adalah contoh perjalanan panjang di dunia birokrasi. Ia adalah lulusan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), angkatan 1995.
Kiprahnya di lingkungan Pemprov DKI Jakarta sudah berlangsung sejak dua dekade lalu, bukan sebagai pejabat politis, melainkan sebagai aparatur sipil negara (ASN) yang meniti karier dari bawah.
Lintasan karier ini menunjukkan bahwa Uus bukan figur hasil rekayasa politik, melainkan birokrat karier yang “naik pangkat” berdasarkan pengalaman, kinerja, dan pemahaman mendalam terhadap dinamika kota Jakarta.
Sampai saat ini, tidak ada informasi publik yang menunjukkan bahwa Uus Kuswanto bergabung atau berasal dari partai politik manapun.
Dalam pengumuman pelantikan, Gubernur Pramono menegaskan bahwa penunjukan dilakukan atas dasar kebutuhan administratif dan rekam jejak, bukan hasil lobi politik atau afiliasi parpol.
Dengan demikian, posisi Uus sebagai Sekda DKI dapat dianggap netral-politik dan lebih mengedepankan profesionalisme birokrasi.
Ini menjadi poin penting di tengah kekhawatiran publik bahwa pejabat tinggi sering terafiliasi partai dan bisa membawa warna politik ke dalam administrasi pemerintahan.
Dengan memilih ASN karier tanpa keterikatan partai, diharapkan birokrasi DKI tetap berjalan efisien, objektif, dan berfokus pada pelayanan publik.
Menurut cerita rekan kerja dan masyarakat yang mengenalnya, Uus digambarkan sebagai sosok sabar, berhati-hati, mudah bergaul, agamis, dan murah senyum.
Ia bukan tipe pejabat yang mencari popularitas lewat retorika tinggi, melainkan orang yang menjalankan tugas secara tertib, sesuai dengan norma dan prosedur birokrasi.
Ketika menjabat di tingkat kota adminstrasi Jakarta Barat, beberapa program pelayanannya dianggap cukup pro-rakyat.
Hal tersebut terutama dalam hal perbaikan layanan administrasi dan pelayanan publik di wilayah kantong padat penduduk.
Hal ini memperkuat persepsi bahwa pemilihannya sebagai Sekda lebih didasari profesionalitas ketimbang kalkulasi politik.
Menjadi Sekda DKI bukan tugas ringan. Uus kini berada di garis depan pelaksanaan visi “Jakarta sebagai kota global” yang diusung pemerinta.
Adapun mulai dari pengembangan infrastruktur, manajemen permukiman, pengendalian lalu lintas, hingga penyediaan layanan dasar bagi jutaan penduduk.
Tugasnya meliputi koordinasi antara lima kota administrasi, 44 kecamatan, 267 kelurahan, serta menyentuh kehidupan 11 juta lebih warga Jakarta. Beberapa tantangan terbesar yang harus dihadapi:
Bagaimanapun, jabatan Sekda bukan soal kekuasaan semata, melainkan amanah untuk mengabdi pada warga dengan tanggung jawab dan integritas.
Dalam konteks pemerintahan di ibu kota seperti Jakarta, netralitas birokrat dan profesionalisme administrasi menjadi kunci untuk menjaga kepercayaan publik.
Jika pejabat struktural kerap bergantung pada afiliasi partai, maka kebijakan bisa terdistorsi oleh kepentingan politik.
Ini bisa menghasilkan keputusan yang tidak pro-rakyat atau bahkan cenderung elitistis.
Dengan menunjuk seorang ASN karier tanpa jejak afiliasi partai seperti Uus, pemerintah memberikan sinyal bahwa birokrasi adalah layanan publik, bukan mesin politik.
Hal ini memberi ruang bagi pelaksanaan kebijakan yang berbasis data, kebutuhan riil, dan keadilan sosial.***