
SERAYUNEWS – Bupati Aceh Selatan, Mirwan MS, tengah berada di pusat perhatian warganet setelah aksinya dianggap tidak sensitif terhadap bencana yang melanda daerahnya.
Pasalnya, Mirwan MS diketahui berangkat Umrah pada Selasa, 2 Desember 2025, hanya dua hari setelah ia menandatangani surat resmi yang menyatakan ketidaksanggupan Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan dalam menangani banjir dan longsor.
Kabar keberangkatan itu sontak memicu kritik publik. Banyak warga yang merasa kecewa karena di saat 11 kecamatan di Aceh Selatan diterjang banjir dan longsor, Mirwan justru meninggalkan daerah dalam kondisi darurat.
Situasi semakin ramai dibahas setelah isi surat yang ia tandatangani beredar di media sosial.
Surat bernomor 360/1315/2025 tersebut menjadi dasar bagi Pemerintah Provinsi Aceh untuk menetapkan status darurat bencana di Aceh Selatan.
Surat inilah yang kemudian memicu polemik, sebab dianggap menunjukkan ketidaksiapan pemerintah daerah dalam menangani bencana secara mandiri.
Menyusul ramainya kritik publik, Pelaksana Tugas Sekretaris Daerah Aceh Selatan, Diva Samudera Putra, memberikan klarifikasi pada Minggu malam, 30 November 2025.
Ia menegaskan bahwa surat tersebut bukanlah bentuk ketidakpedulian Bupati terhadap warganya, melainkan syarat administratif yang harus dipenuhi agar provinsi bisa cepat turun tangan.
“Surat ketidaksanggupan ini memang syarat dari Pemerintah Provinsi Aceh dalam penetapan status darurat bencana. Ini juga bentuk dukungan pemerintah kabupaten/kota kepada provinsi agar penanganan bencana bisa dilakukan lebih cepat, lebih kuat, dan lebih terstruktur,” ujar Diva.
Menurut Diva, langkah ini justru mempercepat proses mobilisasi bantuan, termasuk alat berat, bantuan logistik, serta personel untuk penanganan darurat.
Ia menegaskan bahwa Pemkab Aceh Selatan tetap bekerja, meski bupatinya sedang berada di Tanah Suci.
Namun, penjelasan tersebut tidak sepenuhnya meredam reaksi publik.
Banyak warganet mempertanyakan etika dan sensitivitas waktu keberangkatan sang bupati, yang dianggap kurang tepat di tengah kondisi darurat.
Mirwan MS lahir pada 9 Maret 1975. Karier politiknya menanjak setelah ia menjadi salah satu figur yang dipercaya masyarakat Aceh Selatan.
Pada Pilbup Aceh Selatan tahun 2024, Mirwan mencalonkan diri sebagai bupati untuk masa jabatan 2025–2030.
Ia maju bersama pasangan politiknya, Baital Mukadis, seorang politisi dari Partai Demokrat.
Keduanya berhasil memenangkan kontestasi Pilkada dengan perolehan 51.609 suara, setara dengan 36,32% dari total suara sah.
Kemenangan ini sekaligus mengukuhkan Mirwan sebagai tokoh yang memiliki basis dukungan kuat di Aceh Selatan.
Di tengah ramainya perbincangan, publik juga mulai mencari tahu latar belakang politik Bupati Aceh Selatan ini.
Mirwan MS merupakan salah satu kader Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).
Ia dikenal aktif dalam perpolitikan lokal Aceh dan memiliki pengaruh cukup besar di wilayahnya.
Selain menjabat sebagai Bupati Aceh Selatan, Mirwan MS juga memegang posisi penting di partainya sebagai Ketua DPC Partai Gerindra Kabupaten Aceh Selatan.
Peran ganda ini membuat kiprahnya di ranah politik lokal semakin mencolok.
Keberangkatan Mirwan ke Tanah Suci di tengah situasi darurat menimbulkan perdebatan lebih luas, bukan hanya soal kebijakan, tetapi juga sensitifitas moral seorang kepala daerah.
Banyak warga menilai, meski Umrah adalah ibadah, namun waktu keberangkatan seharusnya dapat ditinjau ulang melihat situasi daerah yang sedang menghadapi bencana besar.
Di sisi lain, sebagian pihak menilai bahwa proses administrasi dan struktur pemerintahan tetap berjalan meski bupati tidak berada di tempat.
Namun, dalam konteks kedaruratan, kehadiran pimpinan daerah dianggap memiliki nilai simbolik dan strategis.
Khususnya dalam memberikan instruksi, meninjau lokasi bencana, hingga memberi dukungan moral kepada warga terdampak.
Kisruh ini sekaligus menjadi pengingat bahwa komunikasi publik memiliki peran besar dalam membangun kepercayaan masyarakat.
Keterlibatan langsung seorang pemimpin saat krisis dapat memberi rasa aman, meski sebagian teknis penanganan dilakukan kondisi birokrasi.
Hingga kini, warganet masih menantikan klarifikasi langsung dari Mirwan MS terkait keberangkatannya.
Apakah ini adalah perjalanan ibadah yang sudah dijadwalkan jauh hari?
Ataukah ada pertimbangan khusus yang membuat ia tetap berangkat meski daerahnya terdampak bencana?
Apapun alasannya, kasus ini telah membuka diskusi penting tentang etika kepemimpinan, transparansi kebijakan, hingga kesiapan pemerintah daerah dalam menghadapi bencana.***