SERAYUNEWS– Dalam sepekan terakhir, sorotan dunia kembali tertuju pada Iran dan sosok kunci yang memimpinnya: Ayatollah Ali Khamenei.
Sebagai Pemimpin Tertinggi Republik Islam Iran, Khamenei memainkan peran yang tidak biasa, pemimpin spiritual sekaligus pengendali politik tertinggi dalam negara yang mengadopsi ideologi religius.
Model pemerintahan yang menopang kekuasaannya dikenal sebagai Wilāyat al-Faqīh, sebuah konsep khas Syiah Imamiyah yang memadukan agama dan negara dalam satu sistem kepemimpinan.
Melansir artikel Dr. Muhammad Ashshiddiqy, Akademisi UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto, berikut kami sajikan ulasan selengkapnya:
Secara harfiah, wilāyah berarti otoritas atau kepemimpinan, sedangkan faqīh adalah pakar fikih. Dalam Syiah Imamiyah, saat Imam Mahdi mengalami ghaibah (ketiadaan fisik), tanggung jawab kepemimpinan umat beralih kepada seorang faqih yang adil, berilmu, dan cakap secara administratif.
Ayatollah Ruhollah Khomeini mengaktualisasikan konsep ini menjadi pilar Revolusi Islam 1979. Ia mempersatukan semangat rakyat, semangat keagamaan, dan gerakan anti-monarki dalam bingkai Wilāyat al-Faqīh.
Sejak saat itu, Iran menjadi satu-satunya negara di dunia yang secara konstitusional menempatkan ulama sebagai pemimpin tertinggi negara.
Konstitusi Iran menempatkan Wali al-Faqih di posisi tertinggi dalam struktur negara. Presiden, parlemen, peradilan, hingga Dewan Penjaga Konstitusi berada di bawah otoritasnya.
Dr. Muhammad Ashshiddiqy menyebutkan, kewenangan yang Wali al-Faqih miliki mencakup:
1. Menentukan arah strategis negara
2. Memimpin militer dan keamanan nasional
3. Menunjuk pejabat tinggi, termasuk kepala kehakiman dan media
4. Mengawasi pemilu dan menentukan kandidat penting
5. Memberi restu terhadap legislasi penting
Wali al-Faqih bukan hanya tokoh administratif, tetapi juga simbol ideologi negara dan penjaga nilai-nilai Islam revolusioner.
Selama lebih dari empat dekade, Iran bertahan di bawah tekanan ekonomi global, terutama dari Amerika Serikat. Embargo yang dimulai sejak 1979 justru memicu Iran membangun sistem ekonomi mandiri. Iran memperkuat ekonomi resistensial yang bersifat swasembada, inovatif, dan berlandaskan solidaritas sosial.
Dalam perspektif Syiah, ekonomi harus menegakkan keadilan sosial dan melawan eksploitasi global. Prinsip ini diwujudkan dalam bentuk institusi keuangan dan ekonomi khas Iran.
1. Baitul Māl Modern: Setad dan Yayasan Khoms
Setad (Markas Eksekusi Perintah Imam) mengelola aset hasil nasionalisasi dari rezim lama untuk pembangunan rakyat.
Yayasan Khoms dan Zakat menyalurkan dana keagamaan ke sektor pendidikan, layanan kesehatan, dan dukungan sosial.
2. Ekonomi Perlawanan (Muqāwamah Iqtishādī)
Sejak 2010, istilah ini menjadi kebijakan ekonomi nasional. Tujuannya:
3. Koperasi dan Ekonomi Rakyat
Pemerintah Iran mendukung model koperasi untuk memberdayakan sektor pertanian, desa, dan industri rumahan. Penduduk dilatih menjadi produsen, bukan sekadar konsumen.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam itu menjelaskan, Iran terus berinvestasi besar dalam pendidikan dan riset. Setiap tahun, negara ini mencetak ribuan ilmuwan di bidang:
1. Teknologi nuklir
2. Bioteknologi
3. Farmasi
4. Teknik dan komputer
5. Teknologi militer
Partisipasi perempuan di perguruan tinggi sangat tinggi, termasuk di bidang teknik dan kedokteran. Fakta ini membantah stigma negatif bahwa sistem Iran menindas perempuan.
Sebaliknya, perempuan diberikan ruang luas untuk berkembang dan berkontribusi dalam pembangunan.
Sistem Wilāyat al-Faqīh tetap menuai kritik, khususnya dari para pendukung demokrasi liberal. Sentralisasi kekuasaan dianggap menyulitkan kebebasan individu dan transparansi politik.
Namun, Iran merancang model ini sebagai respons terhadap kolonialisme dan dominasi asing. Di tengah sanksi dan tekanan ekonomi, Iran tetap mengedepankan prinsip kemandirian dan martabat nasional.
Meski tantangan seperti inflasi dan keterbatasan akses global masih membayangi, pemerintah tetap mengusung semangat jihad ekonomi.
Iran membuktikan bahwa kemandirian ekonomi dan politik berbasis agama bukan utopia. Pelajaran penting yang bisa dipetik antara lain:
1. Kemandirian Bisa Dicapai
Meski di bawah tekanan embargo, Iran berhasil membangun industri lokal yang kuat.
2. Ulama dalam Pemerintahan Bisa Menjadi Solusi
Jika memiliki kompetensi dan integritas, ulama dapat berkontribusi dalam merumuskan kebijakan yang adil.
3. Ekonomi Harus Berpihak pada Sosial
Ekonomi bukan sekadar angka pertumbuhan, melainkan alat distribusi keadilan dan perlawanan terhadap ketimpangan.
Iran dan Ayatollah Khamenei adalah wajah dari sistem politik-ekonomi alternatif berbasis nilai Islam. Meski tidak sempurna, Wilāyat al-Faqīh menjadi bukti bahwa agama dan negara bisa bersinergi untuk menciptakan sistem berdaulat dan mandiri.
Di tengah krisis identitas di dunia Islam, mungkin sudah saatnya umat Muslim termasuk Indonesia melirik Timur, bukan semata-mata ke Barat, untuk belajar dan menemukan arah baru.
Catatan: Artikel ini bersifat akademis dan edukatif. Tidak mengandung dukungan politik atau afiliasi sektarian.