SERAYUNEWS– Di balik wajah ramah Purwokerto sebagai kota pendidikan dan budaya, ada cerita getir yang terus berulang dari tahun ke tahun, yakni kasus perceraian.
Data dari Pengadilan Agama Purwokerto mencatat, sejak 2015 hingga 2021, sebanyak 2.750 pasangan suami istri memutuskan berpisah.
Angka ini bukan sekadar statistik dingin, melainkan cermin dari ribuan kisah keluarga yang runtuh dan anak-anak yang kehilangan pondasi utama dalam hidup mereka.
Ada hal menarik dari penelitian yang dilakukan Durotun Nafisah dan tim dari UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto. Mereka mencoba mengungkapkan akar permasalahan perceraian di daerah ini.
Melalui wawancara mendalam dan studi literatur, mereka menemukan lima faktor utama yang berkontribusi pada tingginya angka perceraian.
Faktor-faktor tersebut antara lain ekonomi, pendidikan, agama, akses kesehatan, dan lingkungan.
Dia menyebut, faktor ekonomi menjadi penyebab utama perceraian di Purwokerto. Data dari Pengadilan Agama menunjukkan bahwa 1.377 kasus perceraian akibat masalah ekonomi.
Ini jauh lebih banyak dibandingkan dengan faktor perselisihan rumah tangga yang mencapai 853 kasus. Penelitian juga mengungkapkan pengangguran di Purwokerto meningkat sebesar 6,05% pada tahun 2021.
Ini salah satunya akibat dampak pandemi COVID-19. Meski perekonomian sempat membaik, kemiskinan justru meningkat pada 2020 dan 2021.
Masalah ekonomi yang tidak terkelola dengan baik seringkali menambah ketegangan dalam rumah tangga, menyebabkan perselisihan yang tak kunjung selesai.
Dalam beberapa kasus, ketidakmampuan salah satu pihak untuk menafkahi keluarga menjadi pemicu utama perceraian.
Hal ini menunjukkan bahwa tekanan ekonomi dapat menjadi faktor yang sangat kuat dalam kehancuran rumah tangga.
Selain ekonomi, tingkat pendidikan juga turut memengaruhi stabilitas pernikahan. Pasangan dengan pendidikan rendah lebih rentan terhadap perceraian.
Pendidikan yang lebih tinggi tidak hanya meningkatkan keterampilan dan kreativitas, tetapi juga memberikan pemahaman yang lebih baik tentang cara membangun hubungan pernikahan yang sehat.
Penelitian mereka juga mengungkapkan bahwa pendidikan yang memadai dapat membantu pasangan untuk melihat perceraian sebagai pilihan terakhir, bukan langkah pertama ketika menghadapi masalah.
Lingkungan sosial juga memegang peranan penting. Lingkungan yang tidak mendukung, seperti adanya daerah kumuh atau masalah keamanan yang tidak terkendali, dapat memperburuk ketidakstabilan rumah tangga.
Karena itu, penelitian ini menyarankan agar pemerintah daerah Purwokerto membuat kebijakan yang lebih spesifik untuk menanggulangi masalah perceraian berdasarkan kelima faktor tersebut.
Dari sisi hukum, perceraian diatur oleh beberapa undang-undang, termasuk Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa perceraian hanya sah jika diputuskan oleh hakim di Pengadilan Agama.
Namun, di sisi lain, hukum keluarga Islam memandang perceraian sebagai jalan terakhir, yang meskipun diperbolehkan, tetap sangat dibenci oleh Allah.
Hukum Islam memberi panduan tentang syarat sah perceraian, seperti kewajiban mediasi terlebih dahulu dan pembagian harta serta hak asuh anak.
Penelitian mereka mencatat bahwa meskipun hukum Islam memberikan panduan, perceraian yang hanya dilakukan menurut hukum agama belum cukup kuat secara hukum negara, kecuali jika sudah diproses melalui pengadilan agama yang sah.
Karena itu, meskipun ada perbedaan pandangan antara hukum agama dan hukum negara, keduanya memiliki tujuan yang sama, yakni melindungi hak anak dan memberdayakan perempuan yang menjadi korban perceraian.
Penelitian mereka juga menyoroti pentingnya peran pemerintah dalam mengatasi tingginya angka perceraian.
Pemerintah tidak hanya harus menegakkan hukum, tetapi juga menciptakan lingkungan yang mendukung keluarga, baik dari segi ekonomi, pendidikan, maupun sosial.
Pemerintah daerah Purwokerto, misalnya, belum memiliki kebijakan khusus yang mengatur penyebab perceraian.
Padahal, dengan adanya regulasi yang tepat, diharapkan bisa mengurangi faktor-faktor penyebab perceraian seperti kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan.
Di sisi lain, pendidikan dan pemahaman agama yang baik dapat membantu pasangan dalam mempertahankan hubungan pernikahan.
Dengan memahami tanggung jawab dalam pernikahan, pasangan suami istri akan tahu kapan perceraian adalah pilihan terakhir yang harus diambil.
Hal ini sejalan dengan tujuan hukum Islam yang mengajarkan bahwa perceraian adalah langkah terakhir setelah semua usaha mediasi gagal. Dengan pendekatan yang lebih menyeluruh, yang melibatkan agama, hukum, dan pendidikan, diharapkan angka perceraian di Purwokerto dapat ditekan.
Keluarga yang lebih harmonis akan tercipta, dan masyarakat Purwokerto dapat merasakan dampak positif dari kebijakan yang mendukung kehidupan keluarga yang sehat dan stabil.
Badai perceraian mungkin tak mudah dihindari, tetapi dengan perhatian serius dari semua pihak pemerintah, lembaga pendidikan, tokoh agama, dan masyarakat ada harapan bahwa perahu rumah tangga bisa lebih kuat menahan gelombang.
Pada akhirnya, keluarga adalah jangkar kehidupan. Jika jangkar itu patah, maka seluruh kapal masyarakat ikut terombang-ambing.