
SERAYUNEWS- Banjir yang terus menghantam berbagai wilayah Sumatra bukan lagi persoalan cuaca semata, melainkan akibat langsung dari perubahan tata guna lahan, lemahnya kebijakan kehutanan, serta ekspansi perkebunan sawit yang tidak terencana.
Dalam dua dekade terakhir, lanskap ekologis Sumatera berubah drastis. Jutaan hektare hutan primer dan sekunder hilang, berganti menjadi perkebunan monokultur. Perubahan masif inilah yang memicu meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir di berbagai daerah.
Berikut kami sajikan kajian Dr. Nita Triana, Dosen Hukum Lingkungan dan Pemerhati Lingkungan Hidup dari Pusat Kajian Konstitusi dan Kebijakan Daerah (PK3D), Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto:
Hutan tropis Sumatra memiliki kemampuan alami untuk menyerap air melalui struktur tanah yang gembur serta vegetasi lebat yang menahan aliran permukaan. Namun fungsi ekologis tersebut melemah tajam ketika kawasan hutan berubah menjadi hamparan perkebunan sawit.
Pembukaan lahan terutama melalui land clearing besar-besaran membuat tanah menjadi padat dan miskin bahan organik. Tanah yang tidak lagi gembur kehilangan daya serap, sehingga air hujan langsung mengalir deras ke sungai-sungai terdekat.
Di banyak wilayah Sumatra, pembukaan lahan untuk sawit dilakukan dengan metode yang merusak, termasuk praktik pembakaran. Lapisan tanah menjadi mudah tererosi dan sedimen terbawa ke sungai ketika hujan turun.
Kondisi ini mempercepat pendangkalan sungai dan meningkatkan risiko banjir di sejumlah Daerah Aliran Sungai (DAS) strategis seperti:
⦁ DAS Kampar
⦁ DAS Batanghari
⦁ DAS Musi
Sedimentasi tersebut menciptakan masalah besar dalam pengendalian banjir dan mengganggu keseimbangan hidrologis kawasan hulu hingga hilir.
Menurut Dr. Nita Triana, berbagai regulasi yang ada belum berjalan optimal. Moratorium izin baru di hutan primer dan gambut, misalnya, sering tidak diikuti pengawasan ketat di lapangan. Banyak kawasan lindung justru berubah menjadi konsesi perkebunan atau tambang.
Minimnya sanksi dan lemahnya evaluasi izin membuat kerusakan hutan terus berlangsung. “Ketidaktegasan dalam kebijakan membuat hutan kehilangan perlindungan strukturalnya,” jelasnya.
Industri sawit memang punya andil besar dalam ekonomi nasional. Komoditas ini menyerap tenaga kerja dan menjadi sumber pendapatan jutaan petani. Namun ketika ekonomi lokal bergantung penuh pada sawit, tekanan pada lahan meningkat drastis.
Daerah yang tidak memiliki rencana tata ruang yang disiplin menjadi sasaran ekspansi, sehingga daya dukung lingkungan sering diabaikan.
Masalah banjir semakin kompleks ketika kebijakan tata ruang tidak selaras dengan kebijakan kehutanan. Banyak pemerintah daerah merevisi RTRW untuk mengejar investasi, bukan menjaga keseimbangan ekologis.
Alhasil, hutan lindung berubah status menjadi APL (Area Penggunaan Lain), memberi jalan bagi ekspansi sawit yang semakin masif. Proses tersebut sering mengabaikan analisis dampak lingkungan, termasuk risiko banjir jangka panjang.
Perubahan tata guna lahan juga memicu konflik antara masyarakat, perusahaan, dan pemerintah. Banyak komunitas kehilangan wilayah kelola tradisional yang sejak lama menjadi penyangga ekosistem.
Kondisi ini mendorong masyarakat untuk membuka lahan secara terdesak, memperburuk kerentanan ekologis terutama di wilayah bantaran sungai. Di titik inilah urgensi RTRW yang harmoni antara ekonomi, masyarakat lokal, dan lingkungan hidup menjadi sangat penting, sebagaimana diatur dalam UUPPLH No. 32 Tahun 2009.
Pemerintah memang menjalankan program rehabilitasi hutan dan pembenahan tata kelola gambut. Namun tanpa kebijakan tegas untuk mengendalikan ekspansi sawit, upaya restorasi selalu tertinggal jauh dibanding kecepatan deforestasi.
Perubahan kebijakan yang menyeluruh menjadi kunci, terutama untuk memastikan tata ruang berbasis ekologi benar-benar diterapkan.
Untuk mengurangi risiko banjir di Sumatra, Dr. Nita Triana menekankan perlunya perubahan kebijakan secara komprehensif:
⦁ Pengelolaan DAS terpadu dari hulu hingga hilir
⦁ Pemulihan hutan secara masif
⦁ Penegakan hukum lingkungan yang kuat
⦁ Intensifikasi perkebunan sawit, bukan ekspansi
⦁ Perencanaan ruang berbasis data ekologis
⦁ Penguatan regulasi RTRW yang konsisten
“Tanpa kebijakan hukum yang holistik dan harmonis, banjir akan selalu menjadi tamu tahunan di Sumatra,” tegasnya.
Memahami banjir di Sumatra berarti memahami hubungan erat antara ekonomi, ekologi, budaya lokal, dan kebijakan. Selama hutan diperlakukan sebagai lahan kosong untuk dialihfungsikan, banjir akan terus menghantui berbagai daerah.
Sumatra membutuhkan paradigma baru pengelolaan hutan dan sawit: yang mengejar keberlanjutan jangka panjang, bukan keuntungan sesaat.
Dr. Nita Triana menutup kajiannya dengan sebuah pesan bernilai filosofis Alam selalu menyediakan cukup bagi manusia yang tahu batas. Tetapi tidak akan pernah cukup bagi mereka yang membiarkan keserakahan menguasai keputusan.
“Jika kita memilih menaklukkan alam daripada hidup selaras dengannya, banjir hanyalah cermin dari ketidakseimbangan yang kita buat sendiri.”