
SERAYUNEWS- Laboratorium Ilmu Politik FISIP Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) membedah fenomena melonjaknya surat suara tidak sah pada Pilkada Pemalang 2024.
Hal ini dibedah dalam seminar akademik bertema “Kajian Surat Suara Tidak Sah dalam Pilkada: Pola, Penyebab, dan Tantangan.” Acara yang berlangsung di ruang J101 ini dipandu oleh dosen Ilmu Politik, Titis Perdani.
Ketua KPU Kabupaten Pemalang, Agus Setiyanto, mengungkapkan data mencengangkan: sebanyak 44.586 surat suara dinyatakan tidak sah, jumlah yang naik signifikan dibanding Pilkada 2020.
Ia menjelaskan bahwa sebagian besar ketidaksahan mengikuti pola berulang, mulai dari surat suara tercoblos di semua pasangan calon, tanpa tanda coblos, hingga kerusakan fisik seperti robek.
“Masih banyak pemilih yang belum memahami bahwa surat suara rusak sebenarnya bisa ditukar sebelum digunakan,” ujarnya.
Sekretaris KPU Pemalang, Benny Nugraha, menambahkan bahwa tingginya surat suara tidak sah tidak sepenuhnya merupakan kesalahan pemilih.
Ia memaparkan sejumlah faktor teknis yang berpengaruh, seperti:
⦁ kertas surat suara yang mudah sobek,
⦁ pelipatan kurang rapi, dan
⦁ kerusakan saat distribusi ke TPS.
Namun, Benny juga mengakui adanya kekeliruan dari pemilih, termasuk coblosan meleset dari kolom pasangan calon atau dilakukan di area yang tidak semestinya.
Kepala Laboratorium Ilmu Politik FISIP Unsoed, Ahmad Sabiq, memaparkan temuan akademiknya. Ia menekankan bahwa pola paling dominan adalah surat suara tercoblos pada semua pasangan calon, disusul dengan tanpa coblos sama sekali.
Menurut Pakar Politik Unsoed tersebut, pola ini mengindikasikan kemungkinan adanya unsur kesengajaan, baik sebagai bentuk protes maupun sikap apatis pemilih.
Untuk memperluas perspektif, ia merujuk contoh internasional:
⦁ kasus butterfly ballot dalam Pemilu AS 2000 yang menimbulkan kebingungan massal,
⦁ lonjakan besar surat suara tidak sah dalam Pemilu Prancis 2017, yang banyak dipandang sebagai bentuk suara protes.
“Di banyak negara, surat suara tidak sah bisa menjadi sinyal politik. Ia bisa lahir dari desain surat suara yang membingungkan, atau dari ketidakpuasan publik yang ingin menyampaikan pesan,” jelasnya dalam keterangan Senin (1/12/2025).
Diskusi berlangsung dinamis. Peserta menyoroti keterkaitan antara:
⦁ desain surat suara,
⦁ literasi politik pemilih, dan
⦁ perilaku protes dalam pemilu lokal.
Para narasumber sepakat bahwa penyelesaian masalah surat suara tidak sah harus dilakukan secara teknis, edukatif, dan politis.
Laboratorium Ilmu Politik FISIP Unsoed menutup seminar dengan sejumlah rekomendasi strategis untuk penyelenggara pemilu:
⦁ Meningkatkan edukasi pemilih terkait hak dan prosedur penggunaan surat suara.
⦁ Memperbaiki metode pelipatan dan distribusi surat suara agar tidak mudah rusak.
⦁ Menguatkan dokumentasi kasus surat suara tidak sah untuk evaluasi pemilu berikutnya.
⦁ Mengoptimalkan desain surat suara agar lebih mudah dipahami semua kelompok pemilih.
Seminar menegaskan bahwa tingginya angka surat suara tidak sah bukan sekadar masalah teknis, tetapi cerminan kualitas demokrasi lokal yang harus terus diperbaiki.