
SERAYUNEWS- Setiap tahun, Bulan bergerak menjauh dari Bumi sekitar 3,8 sentimeter, laju yang setara dengan pertumbuhan kuku manusia.
Meski terlihat kecil, perubahan ini memiliki implikasi besar terhadap rotasi Bumi dan potensi pengaruhnya terhadap psikologi perilaku manusia.
Berikut ini Serayunews merangkum informasi dari beberapa sumber mengenai proses alami tersebut. Fenomena ini berawal dari pasang surut laut, di mana energi rotasi Bumi secara perlahan berpindah ke orbit Bulan.
Hal ini membuat Bulan semakin tinggi orbitnya, sedangkan rotasi Bumi melambat sedikit demi sedikit.
Ketertarikan ilmiah terhadap pengaruh bulan berawal dari seorang pasien bipolar yang ditangani psikiater David Avery pada 11 Desember 2025.
Pasien berusia 35 tahun itu mencatat ritme mood dan tidurnya secara teliti. Hasilnya mengejutkan: perubahan suasana hati dan pola tidur selaras dengan pasang surut laut, yang dikendalikan bulan.
Pola tersebut selaras dengan temuan profesor Thomas Wehr dari National Institute of Mental Health AS, yang meneliti 17 pasien bipolar siklus cepat.
Wehr mendapati adanya ritme eksternal yang memengaruhi siklus episode pasien, dan pola itu konsisten dengan fase bulan.
Beberapa studi menunjukkan bahwa saat bulan purnama, orang cenderung:
1. Membutuhkan waktu tidur 5 menit lebih lama,
2. Tidur sekitar 20 menit lebih sedikit,
3. Mengalami penurunan aktivitas gelombang alfa otak hingga 30%.
Padahal mereka tidak melihat atau terpapar cahaya bulan secara langsung. Hal ini mengindikasikan adanya efek ritmis yang belum sepenuhnya dipahami.
Vyazovskiy, peneliti tidur dari Universitas Oxford, menegaskan bahwa penelitian yang akurat harus dilakukan pada individu yang sama selama berbulan-bulan, seperti metode yang dilakukan Avery dan Wehr.
Ketika dianalisis kembali, siklus mood pasien tercatat mengikuti pola 14,8 hari, mirip setengah fase bulan.
Beberapa pasien lain bahkan menunjukkan pola 206 hari, diduga berkaitan dengan fenomena seperti supermoon, ketika Bulan berada pada jarak lebih dekat dari biasanya sehingga pengaruh gravitasinya lebih kuat.
Wehr menemukan bahwa saat fase bulan tertentu, jam bangun pasien bergeser makin larut, sementara waktu tidur tidak berubah. Akibatnya, durasi tidur tiba-tiba memendek, dan kondisi ini kerap memicu episode mania pada penderita bipolar.
Temuan ini memperkuat hipotesis bahwa ritme bulan dan gravitasi dapat memainkan peran dalam sistem biologis tertentu, terutama pada individu dengan kerentanan mental.
Selain bulan, aktivitas matahari juga memengaruhi ritme sirkadian manusia. Paparan radiasi yang menghantam medan magnet bumi dinilai dapat meningkatkan risiko:
1. Serangan jantung,
2. Stroke,
3. Kejang epilepsi,
4. Skizofrenia,
5. Serta gangguan mental lainnya.
Penelitian menunjukkan bahwa medan magnet dapat menurunkan aktivitas gelombang alfa pada otak. Wehr menduga adanya sensor magnetik yang dihasilkan oleh protein kriptokrom, yakni protein yang mengatur ritme sirkadian 24 jam.
Namun sejumlah studi menemukan bahwa kriptokrom manusia tidak sepeka hewan terhadap medan magnet, kecuali ada molekul tambahan yang dapat mendeteksi perubahan magnetik.
Karena itu, hubungan antara aktivitas matahari dan ritme sirkadian masih dianggap lemah, meski belum sepenuhnya ditutup.
Walaupun banyak faktor eksternal yang memengaruhi perilaku manusia, hingga kini tidak ada peneliti yang berhasil membantah temuan Wehr tentang ritme bipolar yang selaras dengan siklus bulan.
Arah riset semakin jelas, fenomena langit dapat memengaruhi pola tidur dan mood, terutama pada individu yang sensitif terhadap perubahan ritmis biologis.
Penelitian masih berlanjut, namun satu hal pasti gerak Bulan yang perlahan menjauh bukan sekadar fenomena kosmik, melainkan tanda bahwa alam dan manusia lebih terhubung daripada yang kita bayangkan.