SERAYUNEWS – Pertengahan September 2025 menjadi periode penuh gejolak di Timor Leste. Selama tiga hari berturut-turut, 15 hingga 17 September, ribuan warga memadati jalanan Dili.
Mayoritas peserta demonstrasi berasal dari kalangan mahasiswa, yang menuntut agar pemerintah menghentikan kebijakan yang mereka anggap hanya menguntungkan pejabat.
Protes yang awalnya berlangsung damai berubah tegang ketika sebagian massa membakar ban di jalanan dan melempari aparat dengan batu.
Polisi merespons dengan gas air mata. Bentrokan pun tak terhindarkan, membuat suasana ibu kota memanas.
Akar permasalahan bermula dari rencana pemerintah menyediakan 65 mobil dinas baru untuk anggota parlemen.
Jenis kendaraan yang dipilih, SUV Toyota Prado, bernilai tinggi dengan anggaran mencapai puluhan miliar rupiah.
Bagi masyarakat yang sehari-hari berjuang di tengah keterbatasan ekonomi, kebijakan ini dianggap tidak masuk akal.
Bagaimana mungkin negara yang masih menghadapi angka kemiskinan tinggi justru mengalokasikan dana untuk fasilitas mewah bagi pejabatnya?
Pertanyaan inilah yang kemudian menyulut amarah mahasiswa.
Gelombang protes semakin besar ketika isu lain mencuat: aturan pensiun seumur hidup bagi mantan anggota parlemen.
Skema ini sudah berlaku sejak lama, memberi hak kepada eks anggota DPR untuk tetap menerima gaji bulanan meski tidak lagi menjabat.
Bagi para demonstran, kebijakan itu sangat tidak adil. Rakyat banyak masih bergulat dengan kebutuhan dasar, sementara para mantan pejabat tetap mendapat tunjangan besar dari anggaran negara.
Mahasiswa menilai, seharusnya dana itu dialihkan untuk sektor pendidikan, kesehatan, atau pemberdayaan masyarakat miskin.
Tekanan di jalanan semakin kuat. Jumlah massa yang terus bertambah membuat pemerintah tak bisa tinggal diam.
Setelah beberapa hari situasi memanas, parlemen akhirnya mengambil keputusan penting:
Keputusan itu disambut sorak kemenangan para demonstran.
Namun, banyak dari mereka tetap menegaskan bahwa perjuangan belum selesai.
Bagi mahasiswa, demo kali ini bukan hanya soal mobil dan pensiun, tetapi juga simbol penolakan terhadap gaya hidup mewah pejabat yang kontras dengan kondisi rakyat.***