SERAYUNEWS – Malam 1 Suro, yang menandai pergantian tahun baru Jawa, bukan sekadar penanggalan baru. Simak deretan ritual yang dilakukan pada malam tersebut.
Pasalnya, di balik sunyinya malam tersebut, tersimpan makna spiritual yang mendalam bagi masyarakat Jawa, khususnya mereka yang masih memegang teguh tradisi leluhur.
Ada beragam ritual yang dilakukan, dan ada pula berbagai pantangan yang dipercaya harus ditaati—salah satunya adalah larangan begadang.
Tapi benarkah begitu? Mengapa malam ini dianggap tidak boleh begadang?
Dalam kalender Jawa, malam 1 Suro bertepatan dengan 1 Muharram dalam kalender Hijriah. Namun, masyarakat Jawa memaknai malam ini dengan nuansa berbeda.
Malam 1 Suro dianggap sebagai waktu sakral yang kental dengan unsur spiritual. Banyak yang meyakini bahwa tirai antara dunia nyata dan dunia gaib menjadi sangat tipis pada malam ini.
Karena itu, banyak orang memilih mengurung diri, menenangkan hati, dan melakukan introspeksi.
Keluar rumah, membuat keributan, atau bahkan sekadar begadang tanpa tujuan dianggap sebagai tindakan yang bisa mendatangkan celaka.
Bukan karena mitos semata, tetapi karena malam ini dipandang sebagai momen yang harus dihormati dengan keheningan dan laku batin.
Larangan untuk begadang pada malam 1 Suro bukan sekadar nasihat agar Anda tidur lebih cepat.
Dalam kepercayaan Jawa, malam ini bukan waktu untuk bersenang-senang, apalagi pesta pora.
Sebaliknya, malam ini menjadi momen untuk menyepi, merenung, dan mendekatkan diri kepada Tuhan maupun kepada nilai-nilai kebajikan.
Begadang dalam konteks ini bukan hanya soal tidak tidur, tetapi lebih kepada tidak menjaga sikap dan tidak memaknai malam suro dengan kesadaran spiritual.
Karena itu, orang yang tetap berjaga biasanya melakukannya bukan dalam bentuk hura-hura, melainkan lewat ritual seperti tirakatan, tapa bisu, atau bahkan semedi.
Berikut ini beberapa ritual khas yang dijalankan pada malam 1 Suro di berbagai daerah Jawa:
1. Tirakatan
Tirakatan adalah bentuk laku prihatin. Anda akan menemukan masyarakat berkumpul dalam suasana hening, membaca doa, wirid, atau bahkan hanya diam sambil merenung.
Tirakatan biasanya dilakukan di rumah, langgar, atau tempat sakral lainnya. Ritual ini merupakan bentuk permohonan keselamatan dan tuntunan hidup di tahun yang baru.
2. Kirab Pusaka
Kirab pusaka adalah prosesi membawa benda pusaka seperti keris, tombak, atau gaman lainnya, yang dilakukan arak-arakan keliling daerah tertentu, terutama di keraton.
Pusaka dianggap memiliki kekuatan simbolik yang besar dan dibersihkan secara spiritual agar terus membawa berkah bagi masyarakat.
3. Tapa Bisu
Tapa bisu adalah ritual berjalan kaki dalam diam tanpa berbicara sepatah kata pun. Tradisi ini sangat terkenal di lingkungan Keraton Yogyakarta.
Diam menjadi bentuk meditasi, dan langkah kaki menjadi simbol perjalanan spiritual yang tenang dan penuh makna.
4. Jamasan Pusaka
Jamasan atau memandikan pusaka dilakukan untuk membersihkan benda-benda keramat milik keluarga atau kerajaan.
Prosesi ini bukan sekadar fisik, melainkan juga bermakna membersihkan energi negatif. Air jamasan biasanya diperlakukan khusus karena dianggap membawa berkah.
5. Kenduri atau Ruwatan
Kenduri dilakukan dengan makan bersama, biasanya didahului doa-doa keselamatan. Sementara ruwatan dilakukan untuk “membersihkan” seseorang dari nasib buruk atau energi negatif.
Anak tunggal, orang dengan weton tertentu, atau individu yang dianggap “rawan” seringkali menjalani ruwatan pada malam 1 Suro.
Larangan begadang pada malam 1 Suro pada dasarnya adalah simbol dari eling lan waspada—sadar dan waspada.
Masyarakat Jawa mengajarkan bahwa momen ini bukan untuk diisi dengan kegiatan sia-sia.
Anda disarankan untuk memanfaatkan waktu tersebut dengan merefleksikan hidup dan merapikan niat di tahun yang baru.
Ini bukan tentang takut hantu, tapi tentang menghargai waktu dan makna kehidupan.
Meskipun tidak semua orang mempercayai hal-hal yang bersifat mistis, nilai-nilai moral dan spiritual di balik tradisi ini tetap relevan.
Malam 1 Suro memberi kesempatan bagi Anda untuk berhenti sejenak dari hiruk-pikuk dunia dan mendekatkan diri kepada hal-hal yang hakiki.
Penutup
Malam 1 Suro bukan sekadar tanggal di kalender Jawa. Ini adalah momen refleksi, saat yang tepat untuk melihat ke dalam diri sendiri.
Daripada begadang tanpa tujuan, mengapa tidak ikut tirakatan atau sekadar menyepi dan merenungi perjalanan hidup Anda?
Jika Anda tinggal di daerah yang masih kuat dengan tradisi Jawa, menghormati malam ini bisa jadi wujud penghargaan terhadap budaya dan spiritualitas lokal.
Setidaknya, Anda bisa memilih untuk menyambut malam 1 Suro dengan tenang, dalam diam yang bermakna.***