SERAYUNEWS – Salah satu daya tarik terbesar dari Community Based Tourism (CBT) adalah janji akan pengalaman otentik. Wisatawan modern, yang telah jenuh dengan hotel-hotel generik dan atraksi buatan, haus akan interaksi nyata dengan kehidupan dan budaya lokal. Mereka ingin melihat, merasakan, bahkan berpartisipasi dalam “yang asli.”
Namun, di sinilah muncul dilema otentisitas yang menarik. Ketika sebuah ritual adat, sebuah cara hidup, atau sebuah kerajinan tangan dikomersialkan dan dipertontonkan sebagai atraksi wisata, sejauh mana ia masih dianggap “asli”? Opini saya, ini adalah salah satu isu paling sensitif yang harus diatasi oleh setiap komunitas CBT.
Sebuah komunitas CBT memiliki tugas ganda: memenuhi harapan pasar yang mencari pengalaman unik, sekaligus menjaga integritas budaya mereka sendiri. Mengemas budaya untuk pariwisata bukanlah dosa, asalkan dilakukan dengan bijak dan dikendalikan penuh oleh masyarakat.
Otentisitas yang Fleksibel: Kita harus menerima bahwa ‘keaslian’ dalam konteks pariwisata adalah sesuatu yang fleksibel. Tidak semua ritual sakral dapat atau harus dipertontonkan. Komunitas bisa memilih untuk membagi pengalaman menjadi dua:
Di banyak tempat, seperti yang terjadi pada beberapa tarian daerah yang kini menjadi rutinitas penyambutan, pengemasan justru menjadi strategi revitalisasi. Kebutuhan pariwisata memberikan insentif ekonomi bagi generasi muda untuk mempelajari kembali tradisi yang hampir ditinggalkan.
Penting bagi komunitas untuk menetapkan garis batas yang jelas. Apa yang boleh dan tidak boleh difoto? Bagian mana dari desa yang bersifat privat? Aturan-aturan ini harus berasal dari kesepakatan internal masyarakat, yang kemudian dikomunikasikan secara lugas kepada wisatawan.
Keterlibatan Tokoh Adat: Tokoh adat atau pemangku kepentingan budaya harus duduk di meja perencanaan pariwisata. Mereka adalah penjaga gawang otentisitas. Jika pariwisata berjalan tanpa restu mereka, risiko komodifikasi budaya yang merusak sangat tinggi. Tujuan akhirnya adalah menjadikan wisatawan sebagai pengamat yang menghargai, bukan sebagai konsumen yang menuntut.
Untuk keluar dari dilema ini, fokus CBT harus digeser dari “konsumsi budaya” menjadi “pertukaran budaya.” Komunitas harus didorong untuk melihat wisatawan bukan hanya sebagai dompet berjalan, tetapi sebagai tamu yang membawa perspektif berbeda. Dengan demikian, interaksi menjadi dua arah.
Opini saya, otentisitas sejati dalam CBT terletak pada interaksi manusia yang tulus dan rasa hormat yang mendalam dari kedua belah pihak. Selama masyarakat lokal memegang kendali atas narasi, dan mereka merasa bangga bukan terpaksa dalam membagikan budaya mereka, maka pariwisata berbasis komunitas akan tetap berjiwa. Kita harus memastikan pariwisata memperkuat budaya, bukan sebaliknya.
Artikel ini ditulis oleh: Raharja Tri Kumuda – Praktisi Hospitality***