Di masa penjajahan Belanda memang ada kelas sosial. Tentu saja, orang Belanda ada di kelas sosial teratas. Sementara, pribumi ada di kelas sosial terbawah. Perbedaan kelas ini juga merembet pada beberapa hal. Misalnya, tempat untuk orang Belanda tak boleh digunakan oleh orang pribumi.
Pada awal abad XX atau tahun 1900-an, di Banyumas mulai bermunculan tempat hiburan. Salah satunya adalah Gedung Sociteit Slamet. Gedung itu dibangun oleh orang-orang Belanda seperti pemilik perkebunan, administrasur pabrik, manajer perkerataapian, dan lainnya.
Pelindung Sociteit Slamet adalah Residen Belanda. Di tempat itu, ada tempat biliar, kolam renang, lapangan tenis, bahkan bioskop. Karena ada kelas sosial, maka yang menggunakan gedung itu adalah orang-orang Belanda.
Orang Tionghoa kaya dan pribumi elite pun bisa menggunakannya. Namun, karena risih dan minoritas, pribumi elite memilih tak ke sana. Nah, di sociteit itu ada tulisan yang sangat menyakitkan bagi orang pribumi Banyumas.
Tulisan itu adalah “Verboden voor inlanders en honden”. Tulisan tersebut artinya bahwa tempat tersebut dilarang untuk orang bumiputra dan anjing. Maka, tulisan Belanda itu pun menjelaskan bagaimana mereka memosisikan orang pribumi. Gedung sociteit slamet tersebut kini menjadi gedung RRI Purwokerto.
Karena eksklusifnya sociteit slamet, maka elite pribumi yang tak masuk anggota gedung itu, membuat gedung tandingan. Namanya, Panti Soemitro. Pelindung Panti Soemitro ini adalah Bupati Banyumas Sudjiman Gandasubrata.
Di gedung itu, ada juga arena permainan biliar, ping pong, dan alat gamelan Jawa. Di Panti Soemitro inilah para pribumi bebas masuk. Imbasnya, anak-anak bisa belajar gamelan di Panti Soemitro ini.
Sumber:
Yustina Hastrini Nurwanti, Darto Harnoko, Theresiana Ani Larasati: Sejarah Perkembangan Ekonomi dan Kebudayaan di Banyumas Masa Gandasubrata Tahun 1913-1942