SERAYUNEWS – Nama Timothy Ronald belakangan ramai dibicarakan, terutama di kalangan investor muda Indonesia. Lantas, kenapa dia bisa kaya?
Bayangkan, di usia baru 24 tahun, ia sudah menggenggam 11 juta lembar saham Bank Central Asia (BBCA).
Angka itu bukan main-main, karena nilai kepemilikannya menempatkan Timothy sebagai salah satu investor muda paling berpengaruh saat ini.
Tak heran jika publik mulai menjulukinya sebagai “The Next Warren Buffett Indonesia.”
Namun, bagaimana perjalanan Timothy hingga bisa mencapai posisi tersebut? Apa yang membuatnya berbeda dari anak muda kebanyakan?
Pemberian julukan ini sebenarnya bukan hal aneh. Dengan prinsip long-term investing, fokus pada fundamental, serta kepemilikan besar pada perusahaan unggulan, Timothy memang menunjukkan pola mirip Warren Buffett.
Namun, ia sendiri lebih suka disebut sebagai Timothy Ronald, bukan Warren Buffett kedua.
Baginya, keberhasilan sejati bukanlah meniru orang lain, melainkan menciptakan legacy sendiri.
Kisah Timothy tidak dimulai dari modal besar, melainkan dari rasa ingin tahu yang luar biasa.
Pada usia 14 tahun, saat remaja lain sibuk dengan hobi umum, Timothy justru tenggelam dalam buku-buku investasi klasik.
Salah satu bacaan yang paling berpengaruh adalah The Intelligent Investor karya Benjamin Graham, mentor dari Warren Buffett.
Dari buku itu, ia memahami bahwa saham bukan sekadar angka di layar, tetapi representasi sebuah perusahaan.
Prinsip inilah yang menjadi pegangan Timothy: membeli perusahaan yang kuat secara fundamental, lalu menahannya dalam jangka panjang.
Selama 11 tahun menekuni pasar modal, Timothy mengembangkan gaya investasinya sendiri. Ia percaya pada investasi yang disiplin dan sabar.
Bukan tipe investor yang mengejar keuntungan instan, melainkan yang menunggu pertumbuhan jangka panjang.
“Investasi bukan hanya soal mengejar keuntungan cepat. Bagi saya, investasi adalah tentang kesabaran dan disiplin jangka panjang. Jika hasilnya adalah keuntungan, maka itu hanyalah buah dari prinsip yang benar dijalankan dengan konsisten,” kata Timothy.
Pernyataan itu menunjukkan bahwa kekayaannya bukan hasil keberuntungan semata, melainkan buah konsistensi dan prinsip yang kokoh.
Mengapa Timothy memilih BBCA sebagai salah satu pegangan utamanya? Jawabannya sederhana: stabilitas dan kepercayaan publik.
Bank Central Asia sudah lama dikenal sebagai bank dengan kinerja solid dan prospek pertumbuhan berkelanjutan.
Dengan memiliki 11 juta saham BBCA, Timothy seakan ingin menunjukkan keyakinannya pada masa depan ekonomi Indonesia.
Ia percaya bahwa negara ini masih memiliki potensi besar untuk terus berkembang di tengah dinamika global.
Keputusan ini sejalan dengan filosofi value investing yang selalu ia pegang: memilih perusahaan dengan fondasi kuat dan membiarkan waktu bekerja.
Meski dijuluki “The Next Warren Buffett Indonesia”, Timothy menyadari bahwa dirinya punya jalannya sendiri.
Ia tidak hanya ingin dikenal karena kekayaan, tetapi juga karena dampak positif yang bisa ia ciptakan.
Timothy sering menekankan pentingnya literasi keuangan bagi generasi muda.
Menurutnya, semakin banyak anak muda yang melek investasi sejak dini, semakin kuat pula fondasi ekonomi Indonesia ke depan.
Tidak berhenti di pasar modal, ia bahkan memiliki misi sosial yang ambisius: membangun 1.000 sekolah di seluruh Indonesia.
Baginya, kekayaan sejati bukan sekadar aset finansial, melainkan kemampuan untuk memberikan kontribusi nyata bagi masa depan bangsa.***