Banjarnegara, serayunews.com
Pemerhati sejarah Banjarnegara yang juga Ketua Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) Provinsi Jawa Tengah, Heni Purwono mengatakan, melihat dari sejarah, Banjarnegara merupakan satu wilayah yang bisa disebut ‘Adoh Ratu Perek Watu’. Artinya, wilayah Banjarnegara berada dalam perbatasan wilayah kekuasaan Majapahit bagian barat Paguan sebelum wilayah Pasir Luhur, Dayeuhluhur yang kini masih Kabupaten Cilacap. Wilayah tersebut, cenderung menggunakan Bahasa Sunda sebagai bahasa komunikasi masyarakat setempat.
Menurutnya, Bahasa Jawa dialek Ngapak ini sendiri sebenarnya bahasa asli Majapahit. Namun seiring dengan berjalannya waktu, khususnya pada zaman Mataram, Islam mulai tumbuh era Sultan Agung dan seterusnya mulai ada perubahan bahasa.
Mereka ingin membuat struktur bahasa baru, agar memiliki kesan bahwa Mataram lebih hebat daripada Majapahit. Sehingga, muncul bahasa seperti saat ini yang memiliki strata atau tingkatan spesifikasi seperti ngoko, kromo, kromo inggil dan lainnya.
“Banjarnegara sendiri berada pada perbatasan, sehingga Banjarnegara disebut sebagai daerah ‘Adoh ratu Perek Watu’. Banjarnegara jauh dari kerajaan, namun dekat dengan gunung. Batas yang terdekat adalah gunung Sindoro dan Sumbing yang dialek bahasanya lebih dekat dengan Jogja mapun Solo,” katanya.
Dengan berada di perbatasan wilayah yang terhalang gunung tersebut, lambat laun saat memasuki Banjarnegara ada perubahan dialek. Yang tadinya A mulai hilang menjadi semi O menjadi E seperti Ko, Dek’e, Rika, dan seterusnya.
Perbedaan tersebut semakin terasa pada wilayah yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Wonosobo, khususnya sebagian wilayah Kecamatan Sigaluh.
Perubahan-perubahan dialek bahasa ini, terus terjadi seiring dengan maraknya urbanisasi seperti yang terjadi saat ini. Sehingga bahasa dan dialek daerah perbatasan, akan cenderung ‘terkontaminasi’ dengan daerah lainnya.
“Karena keunikan inilah, Banjarnegara memiliki banyak bahasa dan dialek hampir di setiap wilayah. Begitu juga dengan perbatasan wilayah atas seperti Kalibening, Pejawaran, Batur, dan lainnya,” kata Heni yang juga guru sejarah di SMAN 1 Sigaluh Banjarnegara ini.