SERAYUNEWS – Wacana pemanfaatan serangga sebagai sumber protein dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diusulkan oleh Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, menuai perdebatan.
Salah satu aspek yang menjadi sorotan adalah pandangan fikih Islam mengenai konsumsi serangga, seperti belalang dan ulat sagu.
Akademisi UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto, Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy, memberikan pandangannya terkait hukum Islam dalam mengonsumsi serangga.
Dalam kajian fikih, serangga dikenal dengan istilah hasyarat, dan mayoritas ulama mengharamkan konsumsi serangga kecuali belalang.
Mayoritas ulama dari mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hambali mengharamkan konsumsi hewan yang termasuk dalam kategori hasyarat karena dianggap najis, berpotensi membahayakan, dan sulit disembelih sesuai syariat Islam.
Namun, pengecualian diberikan pada belalang, sebagaimana disebutkan dalam hadis Rasulullah SAW:
“Kami dihalalkan dua bangkai dan darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang. Sedangkan dua darah tersebut adalah hati dan limpa.”
Selain belalang, beberapa ulama dari mazhab Syafi’i dan Hambali juga membolehkan konsumsi dhabb (kadal gurun) berdasarkan hadis sahabat Ibnu Abbas. Rasulullah SAW tidak mengonsumsi dhabb, tetapi tidak melarang sahabatnya untuk memakannya.
Dalam kitab Hayat al-Hayawan al-Kubra, dijelaskan bahwa belalang memiliki berbagai jenis dan telah lama dikonsumsi di berbagai daerah sebagai sumber protein.
Namun, mayoritas ulama tetap mengharamkan konsumsi serangga lainnya seperti kepompong, ulat, jangkrik, tawon, dan laron karena dianggap menjijikkan dan tidak layak dikonsumsi.
Beberapa wilayah di Indonesia memiliki tradisi mengonsumsi serangga sebagai bagian dari kuliner lokal. Contohnya, masyarakat di beberapa daerah terbiasa mengonsumsi belalang, ulat sagu, dan laron yang dikenal memiliki kandungan protein tinggi.
Menurut Kepala BGN, Dadan Hindayana, MBG tidak menetapkan standar menu nasional tetapi lebih fokus pada standar komposisi gizi yang dapat disesuaikan dengan potensi sumber daya lokal.
Meski demikian, Dr. Ash-Shiddiqy menegaskan bahwa pemerintah harus tetap memastikan bahwa makanan yang disediakan dalam program MBG sesuai dengan prinsip halal.
Dalam kitab Nihayah al-Muhtaj, disebutkan bahwa hewan-hewan kecil yang melata seperti jangkrik, tikus, kumbang, dan kalajengking tidak sah diperjualbelikan karena haram dikonsumsi.
Lebah dewasa juga tidak diperbolehkan untuk dikonsumsi dalam Islam. Namun, ada perbedaan pendapat terkait enthung lebah atau larvanya.
Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitab Sullamunnajat menjelaskan bahwa enthung lebah halal jika dimakan bersamaan dengan madu atau sarangnya, tetapi haram jika dikonsumsi secara terpisah.
Perdebatan mengenai konsumsi serangga dalam Islam tidak hanya mencakup aspek hukum fikih, tetapi juga mempertimbangkan faktor budaya dan kebutuhan gizi.
Serangga memang memiliki kandungan protein, zat besi, dan lemak sehat, namun bagi umat Islam, kehalalan makanan tetap menjadi prioritas utama.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah ayat 172:
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.”
Dengan adanya wacana memasukkan serangga ke dalam program MBG, pemerintah diharapkan memastikan bahwa pilihan makanan dalam program ini tetap memperhatikan aspek halal.
Edukasi kepada masyarakat juga diperlukan agar dapat memahami perbedaan antara sumber protein yang diperbolehkan dan yang tidak sesuai dengan hukum Islam.
Ke depan, diskusi antara ulama, pakar gizi, dan pihak terkait diharapkan dapat menemukan solusi terbaik dalam menyusun kebijakan pangan yang tidak hanya bergizi tetapi juga sesuai dengan ketentuan agama.
Hal ini penting agar masyarakat tetap mendapatkan manfaat nutrisi optimal tanpa harus melanggar ajaran Islam.***