SERAYUNEWS- Lebaran adalah momen yang dinantikan banyak orang. Setelah satu bulan penuh berpuasa, hari kemenangan ini menjadi ajang untuk saling memaafkan, mempererat silaturahmi, dan merayakan kebersamaan.
Namun, seiring berkembangnya teknologi, suasana Lebaran pun ikut berubah. Kini, ucapan selamat Idulfitri bisa lewat pesan singkat, video call menggantikan kunjungan langsung, dan momen kebersamaan dirayakan lewat unggahan di media sosial.
Pertanyaannya, apakah makna Lebaran masih utuh ataukah semua ini hanya jadi formalitas?
Jika menengok ke masa lalu, Lebaran identik dengan salaman dari rumah ke rumah, anak-anak sungkem kepada orang tua dan kakek-nenek, serta suasana ramai di kampung yang penuh tawa dan canda.
Tradisi ini bukan sekadar rutinitas, melainkan bentuk nyata dari penghormatan, kasih sayang, dan keterikatan sosial yang kuat.
Di era digital, sebagian besar aktivitas Lebaran bergeser ke dunia maya. Ucapan maaf kini dikirim lewat broadcast WhatsApp atau unggahan story Instagram.
Beberapa orang bahkan menggunakan template desain agar terlihat lebih estetik. Praktis, cepat, dan menjangkau banyak orang sekaligus. Namun, apakah masih ada kedekatan emosional di sana?
Ucapan Minal Aidin yang dulu diucapkan dengan mata berkaca-kaca kini cukup diketik dan dikirim massal.
Beberapa orang merasa ini memudahkan, tapi tak sedikit juga merasa ada yang hilang—kehangatan, tatapan mata, pelukan hangat.
Meski banyak hal berubah, tak semuanya hilang. Tradisi halal bihalal di lingkungan RT atau reuni keluarga besar masih terus berlangsung, meski dengan adaptasi tertentu.
Bahkan, beberapa keluarga kini menggabungkan cara lama dan baru. tetap kumpul bersama, tapi juga live streaming agar kerabat yang jauh bisa ikut merasakan suasananya.
Ini membuktikan bahwa teknologi tidak selalu menggerus tradisi. Justru, ini bisa jadi jembatan untuk mempertahankan nilai kebersamaan, asal digunakan dengan bijak.
Perubahan adalah sesuatu yang tak bisa terhindar. Namun, yang penting adalah bagaimana menjaga esensi dari tradisi itu sendiri.
Apakah ucapan maaf hanya rutinitas tahunan? Apakah silaturahmi masih punya makna, atau sekadar formalitas agar tak dianggap nggak sopan?
Lebaran tetaplah momen yang sakral dan penuh makna. Di tengah dunia yang serba cepat dan digital ini, mari jaga nilai-nilainya. Bukan soal bagaimana caranya, tapi seberapa tulus dan hangat kita menjalaninya.
Teknologi boleh berkembang, tapi hati manusia tetap butuh kedekatan. Di tengah kiriman ucapan digital, semoga tetap menemukan makna sejati dari Lebaran.
Maafkan dengan hati yang lapang, pererat hubungan dengan keikhlasan, dan jaga tradisi bukan sebagai beban, tapi sebagai jembatan untuk terus terhubung.
Selamat Idulfitri, semoga tak hanya kembali fitri secara digital, tapi juga secara emosional.***