SERAYUNEWS- KPU RI mencatat ada 41 daerah di Tanah Air, dengan jumlah calon tunggal pada Pilkada Serentak 2024. Calon tunggal tersebut akan berhadapan dengan kotak kosong saat pemungutan suara pada 27 November 2024.
Lalu bagaimana pandangannya kotak kosong dalam kacamata Hukum Tata Negara?
Pakar Hukum Tata Negara UIN Prof KH Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto, M Wildan Humaidi menyebutkan, Pilkada tidak hanya sebagai ajang ritual demokrasi rakyat lima tahunan semata. Melainkan sebagai mekanisme konstitusional demokratis, dalam menentukan kepala daerah terbaik yang visioner.
Tentunya sesuai kebutuhan daerah dan mampu membawa kesejahteraan bagi masyarakatnya.
“Konstitusional maknanya, mekanisme penentuan dan penetapan kepala daerah, mulai dari pencalonan hingga penetapan kepala daerah harus berjalan dengan taat pada peraturan perundang-undangan,” jelasnya.
Sementara demokratis artinya, setiap proses mulai dari pencalonan, pemilihan, penetapan, hingga pelantikan harus terbuka dan terakses publik. Masyarakat tidak hanya sebagai subyek pencoblos kertas suara, tetapi harus sebagai pemegang kedaulatan yang menentukan nasib dan masa depan daerah.
Karenanya, kata dia, melalui Pilkada, masyarakat harus dapat jaminan hak sepenuhnya untuk menentukan siapa kepala daerah terbaik. Untuk memilih kepala daerah, proses dan mekanisme harus demokratis sebagaimana desain konstitusi Pasal 18 ayat (4) UUD Negara Republik Indonesia.
“Karena konsep demokrasi berkonsekuensi adanya kontestasi, maka calon kepala daerah harus bervariatif. Baik dari segi partai pengusungnya, visi misinya, ataupun rancang bangun program untuk daerah,” ujar Dosen Fakultas Syariah itu.
Melalui kontestasi inilah, lanjut dia rakyat disuguhkan dengan berbagai pilihan calon kepala daerah. Dengan itu, rakyat dapat menjalankan haknya dengan memilih kepala daerah terbaiknya.
“Namun demikian, Pilkada 2024 ini pada faktanya terdapat beberapa daerah dengan calon tunggal,” jelas dia.
Sekitar 41 daerah kabupaten/kota, termasuk salah satunya Kabupaten Banyumas, memiliki calon tunggal. Hal ini karena berbagai hal, salah satunya konfigurasi politik elektoral di daerah masing-masing.
Situasi ini berakibat pada mekanisme Pilkada dengan kotak kosong sebagai bagian konsekuensi kontestasi demokrasi.
“Para kandidat tunggal tersebut harus berhadapan dengan kotak kosong. Kotak kosong harus kita pahami sebagai pilihan alternatif dalam mekanisme kontestasi demokrasi. Dan rakyat sebagai pemilih dapat jaminan haknya untuk memilih sesuai dengan pilihan terbaiknya,” katanya.
Menurut Wildan, baik memilih calon kepada daerah ataupun memilih kotak kosong, keduanya sama-sama bagian dari demokrasi. Oleh karena itu, pada situasi ini rakyat harus tepat dan cermat dalam menggunakan haknya.
“Ini jihad sekaligus ‘ijtihad politik’ rakyat dalam menentukan nasib daerahnya lima tahun ke depan. Rakyat harus menimbang matang-matang dalam menentukan pilihannya, baik maslahat maupun mafsadatnya,” tuturnya.
Karena jika pilihan mayoritas jatuh pada kotak kosong, ada konsekuensinya. Mekanisme Pilkada akan diulang kembali. Hal ini tentu tidak hanya berkonsekuensi pada dimensi politik semata. Jauh dari itu berdampak pada energi penyelenggara, emosi rakyat, dan terkait pendanaan penyelenggaraan.