Berangkat haji ke Mekah adalah ritual setahun sekali. Berhaji termasuk rukun Islam yang kelima. Tentunya, berhaji dilakukan untuk yang mampu. Fenomena di Indonesia, berhaji sudah sangat lama. Bahkan, di masa penjajahan Belanda pun, sudah banyak warga Nusantara yang berhaji.
Hanya saja, berhaji di masa itu sangat banyak tantangan yang harus dihadapi. Ada pemerasan yang luar biasa pada calon jemaah haji. Pemerasan pada calon jemaah haji dilakukan oleh beberapa pihak. Belanda misalnya membuat resolusi tahun 1825. Dari resolusi itu, calon jemaah haji diminta membayar 110 florin atau gulden. Memang tidak terlalu diketahui berapa nilai uang itu jika dirupiahkan di zaman sekarang.
Sebab, di masa itu memang belum ada rupiah. Di sisi lain, saat ini mata uang gulden di Belanda sudah tidak digunakan karena negara anggota Uni Eropa kini menggunakan mata uang tunggal Euro.
Kembali ke soal jemaah haji di masa penjajahan. Uang 110 f itu belum termasuk soal biaya hidup, ongkos pulang, dan biaya wajib lapor setelah di Indonesia. Sekalipun tak diketahui berapa nilai 110 f jika dirupiahkan, nama nilai itu disebut tinggi.
Belanda sangat paham bahwa masyarakat muslim masa itu sangat mendambakan haji. Maka, berapapun biayanya akan ditebus. Tiga perusahaan Belanda juga mengeruk untung karena haji dari orang Nusantara waktu itu. Tiga perusahaan Belanda adalah Rotterdamsche Lloyd, Nederlandsche Lloyd , dan perusahaan Ocean.
Lalu muncullah biro pemberangkatan haji yakni Firma Herklot yang berpusat di Batavia dan Firma Al-ssegaf yang berpusat di Singapura. Dua firma ini juga “memeras” calon jemaah haji secara maksimal. Firma tersebut tak memperhatikan kesejahteraan dan kesehatan penumpang.
Firma Herklot menarik tarif sesuka hati karena memegang monopoli pemberangkatan haji. Bahkan calon haji dimintai pungutan liar. Imbasnya, ada haji yang kehabisan uang dan tidak bisa pulang ke Tanah Air.
Firma Herklot malah menelantarkan jemaah haji sesampainya di pelabuhan di Arab Saudi. Tak ada fasilitas apapun setelah mereka sampai di pelabuhan. Bahkan, calon jemaah haji yang kelimpungan karena dana, bisa saja dijadikan budak.
Kesulitan yang dialami calon jemaah haji di masa lalu memang tak menyurutkan niat warga Nusantara untuk berhaji. Sebab, jika sudah berhaji kelas sosial akan otomatis naik di masa itu. Hal positif lain dari orang yang berhaji di masa itu adalah semangat melawan penjajah yang tinggi.
Mungkin mereka mendapatkan informasi dan masukan selama perjalanan haji. Maka, tak heran perlawanan yang dilakukan pada Belanda di abad 19, banyak yang dimotori oleh mereka yang sudah berhaji.
Referensi
Istikomah. Pelaksanaan Ibadah Haji Abad ke 19 dan Dampaknya Terhadap Perlawanan Rakyat kepada Kolonialisme.
Asyhadi Mufsi Sadzali. Kelas Haji Kelas Sosial