SERAYUNEWS — Film horor Indonesia terbaru berjudul Pembantaian Dukun Santet tengah menjadi sorotan publik.
Bukan karena unsur horor mencekam, melainkan karena kontroversi yang muncul akibat penggunaan nama Banyuwangi dalam judul awal film ini.
Kemudian, siapa yang mengajukan protes? Apa alasannya? Simak ulasannya dalam artikel in.
Film ini terinspirasi dari peristiwa tragis tahun 1998, di mana terjadi pembantaian terhadap orang-orang yang mendapat tuduhan sebagai dukun santet.
Ratusan korban jiwa berjatuhan tanpa proses hukum yang jelas, menjadikan peristiwa itu sebagai salah satu tragedi kelam di masa reformasi Indonesia.
Film ini mengangkat kisah sekelompok santriwati di sebuah pesantren yang mengalami teror karena salah satu dari mereka konon memiliki kemampuan gaib.
Ketakutan tersebut memicu kekerasan massal yang mencerminkan tragedi pembantaian dukun santet.
Film produksi Pichouse Films dan Come and See Pictures ini awalnya berjudul Lemah Santet Banyuwangi.
Judul ini langsung menuai protes dari masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi karena dianggap mencoreng citra daerah yang tengah giat membangun sektor pariwisata dan budaya.
Bupati Banyuwangi, Ipuk Fiestiandani, secara terbuka menyampaikan kekecewaannya terhadap penggunaan nama Banyuwangi dalam film tersebut.
Dalam keterangan resminya, ia menegaskan bahwa sejarah kelam daerahnya tidak seharusnya dijadikan komoditas hiburan tanpa pertimbangan etika dan sensitivitas sosial.
Setelah menerima berbagai tekanan, pihak produksi akhirnya mengganti judul menjadi Pembantaian Dukun Santet.
Namun, perubahan ini tidak serta merta mengakhiri polemik. Warganet dan pengamat budaya tetap mempertanyakan niat di balik produksi film ini. Apakah murni untuk mengedukasi atau justru mengeksploitasi trauma lama?
Beberapa masyarakat beranggapan bahwa film horor memang biasa mengangkat kisah nyata untuk meningkatkan ketegangan dan emosi penonton.
Namun, tidak sedikit pula yang mengkritik pendekatan ini karena dianggap membuka kembali luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.
Kontroversi ini menyadarkan kita bahwa industri hiburan perlu lebih peka terhadap konteks sosial dan sejarah lokal. Apalagi, cerita bersumber dari peristiwa nyata yang masih menyisakan trauma bagi sebagian masyarakat.
Mengangkat kisah nyata dalam film bukan hal yang salah, asalkan melalui riset mendalam, pendekatan sensitif, serta melibatkan pihak-pihak yang memahami konteks sejarah tersebut.
Fenomena ini menjadi pembelajaran bagi publik untuk lebih kritis dalam menyikapi tayangan hiburan.
Sebuah film bisa saja memicu diskusi penting tentang sejarah dan budaya, tapi juga dapat menyesatkan bila tersaji tanpa edukasi yang memadai.
Jadi, perlukah kita menyaksikan Pembantaian Dukun Santet sebagai bentuk refleksi sejarah?
Atau sebaiknya kita menghindari konsumsi hiburan yang berpotensi menyakiti memori kolektif masyarakat? Waktu dan respons penonton akan menjawabnya.***