
SERAYUNEWS- Rencana redenominasi rupiah yang dicetuskan oleh Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, kembali diangkat ke meja perundingan. Melalui PMK No. 7 Tahun 2025 tentang Renstra Kemenkeu 2025-2029, pemerintah secara resmi memasukkan agenda pemangkasan tiga angka nol di belakang rupiah.
Redenominasi adalah penyederhanaan jumlah digit pada pecahan rupiah tanpa mengurangi nilai mata uang tersebut. Tindakan ini bertujuan untuk menyederhanakan sistem pembayaran, mempercepat modernisasi keuangan, dan membuat sistem akuntansi yang lebih efisien.
Ini adalah langkah proaktif yang menandai kesiapan ekonomi nasional, sebuah langkah yang esensial dan meresap ke seluruh aktivitas ekonomi.
Redenominasi dapat mendorong dan mempercepat reformasi substansial. Ini adalah strategi terpadu di mana penyederhanaan nominal menjadi pintu masuk bagi peningkatan efisiensi di berbagai sektor.
Kita bisa bayangkan beban administratif dan kompleksitas akuntansi yang ditanggung oleh pelaku usaha. Dengan memangkas tiga angka nol, kita tidak hanya akan menyederhanakan pencatatan, tetapi juga bisa mengurangi human error dalam kesalahan input dan mempercepat siklus rekonsiliasi.
Bagi UMKM, yang merupakan tulang punggung ekonomi, transisi Rp20,000 ke Rp20 merupakan simplifikasi yang membebaskan mereka dari beban administratif, ini memudahkan mereka dalam mengadopsi platform digital dan point-of-sale (POS) modern.
Dalam konteks ini, redenominasi adalah instrumen yang memungkinkan reformasi tersebut dapat berjalan dengan lebih efektif. Efisiensi akuntansi adalah infrastruktur lunak yang krusial untuk meningkatkan produktivitas dan transparansi.
Pengalaman historis yang terjadi di Turki memberikan contoh bahwa redenominasi dapat digunakan sebagai simbol pemulihan, ini membuktikan bahwa langkah simbolik dan teknokratis adalah cerminan komitmen politik yang kuat terhadap stabilitas jangka panjang.
Dalam tingkat global, mata uang adalah kartu nama sebuah negara. Indonesia secara aktif memperkuat perannya di G20 dan menegosiasikan investasi strategis di kawasan Indo Pasifik, karena kredibilitas moneter adalah segalanya.
Rupiah yang memiliki banyak angka nol di belakang seringkali keliru dipersepsikan sebagai warisan inflasi tinggi, sebuah diskoneksi dari realitas ekonomi makro kita yang kini kian semakin stabil.
Redenominasi adalah langkah yang proaktif untuk menyamakan persepsi global dengan realitas ekonomi domestik. Mata uang yang memiliki nominal lebih kecil dan modern secara signifikan dapat mengurangi perselisihan dalam persepsi investor.
Laporan keuangan perusahaan multinasional akan terlihat lebih bersih dan sejajar dengan mata uang kuat dunia lainnya.
Hal ini bukan untuk estetika belaka, ini adalah sinyal tegas bahwa Indonesia serius dalam menata administrasi ekonominya dan siap mengambil peran penting di dunia internasional.
Tidak bisa dipungkiri bahwa transisi ini memiliki banyak tantangan. Adaptasi di level grassroots, UMKM, dan masyarakat pedesaan adalah tantangan struktural yang harus dikendalikan dan dikelola dengan presisi. Redenominasi tentu saja akan menimbulkan kebingungan dan risiko manipulasi harga.
Namun, tantangan ini bukanlah alasan untuk menunda kebijakan, melainkan alasan untuk merumuskan jalan tengah dan implementasi yang efektif Bank Indonesia dan pemerintah juga memegang peran sentral dalam merancang periode transisi yang memadai, kemungkinan akan dilakukan dengan penerapan harga ganda dan edukasi publik yang masif.
Namun, ada salah satu aspek krusial yang sering kita lewati. Merujuk pada data SNLIK OJK 2002, menunjukkan bahwa literasi keuangan masyarakat Indonesia baru mencapai angka 49%. Hal ini bukanlah hambatan yang harus ditakuti, melainkan peluang emas.
Redenominasi adalah momentum yang langka untuk mengakselerasi literasi keuangan nasional secara paksa (shock therapy). Ini adalah kebijakan yang akan memaksa tiap individu untuk belajar dan memahami kembali nilai uang.
Redenominasi adalah ujian dan alat untuk memastikan bahwa 85,10% masyarakat yang sudah melek finansial juga ter-literasi. Ini adalah investasi jangka panjang dalam modal manusia.
Perjalanan menuju rupiah baru membutuhkan persiapan matang dan arah kebijakan yang jelas. Risiko tidak optimal dan kehilangan momentum akan jauh lebih besar jika kita terus menunda.
Redenominasi rupiah adalah tentang membangun mesin fiskal dan moneter masa depan yang lebih efisien, hal ini dapat mencerminkan Indonesia sebagai negara yang percaya diri, tidak hanya beradaptasi dengan tuntutan global, tetapi secara aktif juga mendefinisikan ulang sistem untuk kemajuan nasional.
Pada akhirnya, mata uang adalah alat kepercayaan. Dengan memotong tiga angka nol di belakang rupiah, kita bukan memotong nilai, tetapi kita sedang membangun pondasi kepercayaan yang lebih kuat dan sederhana. Ini adalah hal baru bagi kedaulatan ekonomi Indonesia. (Dayu Aulia Rosi)