SERAYU NEWS – Dunia jurnalistik kembali terguncang oleh tindakan kekerasan yang diduga dilakukan oleh aparat.
Seorang ajudan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dilaporkan melakukan penamparan terhadap seorang pewarta foto Kantor Berita Antara, Makna Zaezar, saat meliput kegiatan resmi di Stasiun Tawang, Semarang, Sabtu (5/4).
Peristiwa ini memicu kemarahan dari insan pers dan mendapat kecaman keras dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Tengah.
Saat itu, Kapolri tengah menyapa seorang penumpang disabilitas di stasiun. Para jurnalis, termasuk Makna, tengah menjalankan tugas peliputan.
Namun, secara tiba-tiba, seorang ajudan Kapolri meminta jurnalis dan petugas humas mundur dengan cara yang kasar.
Makna pun menghindar dan berpindah ke area peron untuk tetap menjalankan tugasnya.
Tak disangka, ajudan tersebut mengejarnya dan menampar kepala Makna tanpa alasan yang jelas.
Tak hanya itu, ajudan itu juga mengeluarkan ancaman keras kepada wartawan lain dengan mengatakan, “Kalian pers, saya tempeleng satu-satu.”
Beberapa jurnalis lain mengaku turut mengalami dorongan fisik dan intimidasi verbal saat kejadian berlangsung.
Bahkan, suasana di lokasi sempat memanas dan membuat sebagian jurnalis mundur demi menghindari eskalasi lebih lanjut.
Menanggapi kejadian tersebut, Wakil Ketua PWI Jawa Tengah, Zainal Abidin Petir, menyampaikan kemarahannya.
Ia menyebut aksi tersebut sebagai bentuk arogansi kekuasaan dan pelanggaran hukum terhadap profesi jurnalis yang terlindungi oleh undang-undang.
“Wartawan bukan preman. Mereka sedang melaksanakan tugas mulia untuk memberikan informasi kepada publik. Bahkan koruptor saja tidak Anda tampar,” ujar Zainal dengan tegas.
Ia juga meminta agar ajudan yang bersangkutan dicopot dari jabatannya dan ditempatkan di lingkungan masyarakat sebagai bentuk pembelajaran atas pentingnya pelayanan publik dan sikap empati terhadap rakyat.
PWI Jateng menuntut Kapolri untuk mengambil sikap tegas dengan meminta maaf secara terbuka kepada seluruh insan pers dan segera memproses ajudan yang bersangkutan melalui sidang etik oleh Propam.
Zainal juga mendorong korban untuk membuat laporan resmi ke Polda Jawa Tengah agar kasus ini bisa menjalani proses secara hukum.
Tak hanya itu, PWI Jateng juga mengajak seluruh jurnalis di Indonesia untuk bersatu menyuarakan perlindungan terhadap profesi wartawan dan menolak segala bentuk kekerasan, baik fisik maupun verbal.
Solidaritas lintas media menjadi penting agar kejadian serupa tidak terulang.
Ketua PWI Jateng, Amir Machmud, juga mengingatkan bahwa jurnalis memiliki peran vital dalam sistem demokrasi.
Kekerasan terhadap jurnalis bukan hanya pelanggaran etika, melainkan juga penghinaan terhadap kebebasan pers.
Insiden ini semoga menjadi momentum evaluasi bagi institusi kepolisian dalam memperlakukan jurnalis yang sedang menjalankan tugasnya.
Kejadian seperti ini tidak hanya mencederai hubungan baik antara pers dan aparat, tetapi juga mengancam kebebasan pers yang merupakan pilar demokrasi.
Hrapannya, semua pihak dapat menghormati dan memahami peran masing-masing demi tercipta sinergi yang positif antara media dan aparat penegak hukum.***