SERAYUNEWS – Rocky Gerung diburu oleh banyak orang karena pernyataannya yang menyebut Jokowi sebagai bajingan tolol dan pengecut. Bagi banyak orang—terutama relawan Jokowi—ungkapan itu bukan sekadar offside, tapi sudah melewati garis batas permainan.
Gerakan memburu Rocky bermunculan dimana-mana. Rocky menjadi sasaran kemarahan dan menjadi target ‘’witch hunt’’ perburuan tukang tenung. Sebuah video yang beredar menunjukkan sekelompok orang menyembelih seekor kambing bertuliskan ‘’Rocky Gerung’’. Seseorang menghunus pedang, menggorok leher kambing, kemudian menadahi darahnya dengan gelas dan kemudian meminumnya sambil meneriakkan ancaman terhadap Rocky Gerung.
Pemburu lainnya, Benny Ramdhani, melaporkan Rocky ke polisi dan mengatakan akan menggerakkan banyak orang untuk memburu Rocky pada 10 Agustus. Tanggal itu dipilih mungkin karena berbarengan dengan rencana para buruh melakukan demonstrasi menolak UU Ciptaker Omnibus Law. PDIP sebagai partai pengusung Jokowi juga sudah melapor ke polisi.
Di tengah gencarnya perburuan tukang tenung itu muncul beberapa pembelaan. Fahri Hamzah menyebut risiko jabatan bagi seorang presiden adalah mendengar kritik dan serangan masyarakat, bahkan jadi sasaran makian. Karena itu ia tak setuju undang-undang digunakan untuk menjerat orang yang mengkritik. Bagi dia, kritik mestinya dibiarkan dan didengarkan.
Pembelaan juga datang dari Fahri yang lain, yaitu Fachry Ali. Kalau Fahri Hamzah serius, Fachry Ali juga serius tapi dengan memakai analogi yang menggelitik. Ia menyebut Rocky Gerung sebagai ‘’Hujjatul Islam’’.
Dalam sejarah peradaban Islam yang sudah berumur 15 abad satu-satunya tokoh yang memperoleh label itu ialah Imam Al-Ghazali (1058-1111), filosof dan teolog terkemuka Islam.
Pada masa hidup Al-Ghazali pemikiran ilmu kalam yang berbasis pada filsafat Yunani kuno mulai marak. Tokoh-tokoh utamanya antara lain Ibnu Sina dan Ibnu Rusydi. Pemikiran mereka didasarkan pada teori helenisme filsafat Yunani yang berdasarkan pada rasionalisme dan kebebasan akal.
Pandangan para filosof ini menjadi kontroversial karena dianggap bertentangan dengan Islam. Salah satu pandangan kontroversial adalah bahwa Allah tidak mengetahi secara detail apa yang terjadi di dunia. Allah menciptakan sistem sunatullah yang kemudian berjalan sendiri sesuai dengan hukum alam.
Al-Ghazali menyerang pendapat yang menyatakan bahwa alam itu qadim, tidak mempunyai permulaan dan tidak berakhir, kebangkitan yang terjadi di akhirat bersifat rohani bukan jasmani, serta Allah tidak mengetahui yang juz’iyah, detail yang ada di alam ini. Dengan tiga pernyataan kaum filosof tersebut, maka mereka dianggap oleh Imam Al-Ghazali telah keluar dari ajaran Islam atau kafir.
Istilah hujjatul islam di kalangan ulama Islam diberikan kepada ulama yang berjasa mempertahankan prinsip-prinsip kebenaran Islam dengan argumen yang sulit dipatahkan oleh lawan. Salah satu ulama pasca Al-Ghazali yang masuk kategori ini adalah Ibnu Taimiyyah (1263-1328).
Al-Ghazali tidak hanya mengajukan argumentasi-argumentasi Alquran dan sunah, tetapi juga dengan argumen logika yang konsepsional, sistematis, dan ilmiah. Dengan pembelaan terhadap ajaran Islam yang benar sesuai dengan Alquran dan sunah ini, membuat Imam Al-Ghazali di kalangan para ulama sezamannya sebagai seorang hujjatul Islam yang tiada tandingannya.
Dengan argumennya yang kuat Al-Ghazali menunjukkan kesesatan kaum filosof melalui karyanya Tahafut al-Falasifah (Kerancauan Para Filosof). Dalam buku ini dia berargumen berdasarkan Alquran dan sunah juga dengan metode logika sebagaimana yang dilakukan oleh kaum filosof sendiri. Dari pembelannya tentang kesesatan kaum filosof inilah Al-Ghazali diberi gelar hujjatulHIslam.
Kali ini label itu oleh Facry Ali disematkan kepada Rocky Gerung. Tentu ini bukan perbandingan apple to apple. Fachry ingin menunjukkan bahwa Rocky mempunyai kekuatan intelektual dan kekuatan logika yang kokoh sehingga bisa mememenangkan berbagai perdebatan.
Fachry mengatakan sudah mengenal Rocky sejak 1980-an ketika masih sama-sama muda. Dalam sebuah kesempatan seminar Rocky melontarkan kritik keras terhadap orang-orang PSI (Partai Sosialis Indonesia). Kritik Rocky ini dianggap sangat berani, karena PSI adalah partai yang didirikan oleh Sutan Sjahrir dan kemudian menjadi ‘’avant garde’’ intelektual Indonesia. Partai itu menjadi ‘’intellectual powerhouse’’ pusat kekuatan intelektual tempat berkumpulnya orang-orang terdidik dari generasi pertama Indonesia.
Keberanian Rocky itu menunjukkan kuatnya fundamental intelektual yang dimilikinya sejak muda. Kemudian, dalam perjalanan intelektualnya Rocky tidak pernah secara khusus masuk dalam jalur intelektual Islam.
Bagaimana kemudian Rocky bisa dianggap sebagai ‘’Hujjatul Islam’’? Kemunculan Jokowi 10 tahun terakhir memunculkan keresahan di kalangan muslim kelas kota, yang tidak mempunyai tokoh berkaliber yang bisa ditandingkan dengan tokoh nasionalis, termasuk Jokowi.
Di saat vakum inilah Rocky muncul mengisi kekosongan. Kritik Rocky yang keras dan konsisten terhadap kebijakan Jokowi menjadikan kelompok muslim kota merasa mendapatkan hero dan idola dari kalangan non-muslim. Rocky seolah-olah terintegrasi menjadi bagian muslim kota. Mereka menemukan Rocky Gerung sebagai spokeperson, jurubicara.
Penjulukan Hujjatul Islam kepada Rocky bisa saja memancing pro dan kontra. Tetapi, Fachry hanya ingin membuat analogi sosiologis yang sederhana supaya mudah dipahami.
Beberapa tahun yang lalu, Prof. Sumitro Djojohadikusumo juga dijuluki sebagai Ayatullah Ekonomi Indonesia oleh Kwik Kian Gie. Di dunia ini yang punya gelar ayatollah hanya pemimpin Iran yang punya otoritas keagamaan sekaligus politik. Bagi Kwik pengaruh keilmuan dan otoritas profesional Sumitro di bidang ekonomi sejajar denga otoritas ayatullah dalam politik Iran. Sampai sekarang julukan itu masih tetap melekat, meskipun sudah jarang disebut.
Julukan Hujjatul Islam terhadap Rocky, tampaknya, akan terus melekat, terlepas ada yang suka atau tidak.*** (Dhimam Abror Djuraid – Dewan Kehormatan PWI Pusat)