Keberadaan Keluarga Alumni Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (KAFH Unsoed) dinilai sangat berarti oleh warga Desa Jurangbalas, Kecamatan Wangon, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Hal demikian diungkapkan warga saat KAFH Unsoed melakukan bakti sosial dan sambung rasa dengan masyarakat setempat.
Banyumas, Serayunews.com
Kegiatan yang dilakukan dalam rangka mengamalkan ‘Tri Dharma Perguruan Tinggi’, pengabdian kepada masyarakat, yang dilaksanakan pada 13 Februari 2022 itu dilakukan dengan penuh rasa keakraban, kekeluargaan, guyub, rukun, dan gayeng. Hadir dalam kegiatan tersebut Ketua Umum KAFH Unsoed Dr. Ma’ruf Cahyono, S.H., M.H; Kepala Desa Jurangbahas, Natim; para perangkat desa, unsur BPD, Dwi Warsito; para tokoh masyarakat, dan masyarakat umum.
Saat sambung rasa, Ma’ruf Cahyono mengakui beratnya tantangan yang dihadapi aparatur desa di masa pandemic Covid-19.
“Pandemi yang ada menyebabkan berkurangnya anggaran yang diterima desa,” ujar pria yang saat ini menjabat sebagai Sesjen MPR itu.
Dampak pandemi lebih lanjut juga berimbas pada berbagai aktivitas masyarakat. Dia mengatakan, dampak tersebut terlihat dari sisi ekonomi, pendidikan, pariwisata, dan aktivitas lainnya.
“Ini tidak hanya dialami oleh Desa Jurangbahas saja namun seluruh dunia,” tambahnya.
Meski demikian, pria yang masuk dalam 100 tokoh yang inspiratif di Jawa Tengah itu mengajak kepada masyarakat tetap tegar dan tangguh dalam menghadapi masa-masa yang sulit ini.
“Meski di desa, ayo kita terapkan protokol kesehatan yang disiplin,” ajaknya.
Wabah yang sudah berlangsung dua tahun ini menurutnya dapat teratasi apabila setiap penyelenggara pemerintahan dan masyarakat di berbagai lapisan selalu berpegang teguh pada ideologi dan wawasan kebangsaan. Terutama, lanjutnya, nilai-nilai moral seperti religiusitas dan kemanusiaan yang merupakan dua elemen nilai penting dalam ideologi negara Pancasila.
Disampaikan kepada mereka yang hadir dalam sambung rasa itu, selepas diundangkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, keberadaan desa saat ini memiliki otonomi yang lebih kuat. Sebab, kepala desa bisa membuat membuat peraturan desa.
Peraturan desa, dikatakan oleh pria yang menjadi dosen program magister hukum di berbagai perguruan tinggi itu merupakan instrumen yang sangat unik. Peraturan desa yang ada dalam undang undang merupakan kunci untuk mencapai tujuan-tujuan bernegara. Dengan instrument yang ada, kepala desa dapat membuat aturan-aturan yang dapat melengkapi undang-undang organik yang telah dibentuk di tingkat nasional atau peraturan daerah yang ada di pemerintahan tingkat provinsi dan kabupaten.
Dari sinilah, pria asal asli Banyumas itu mengingatkan pentingnya aparatur desa untuk selalu berpikir kreatif dalam segala situasi. Apalagi undang-undang yang ada telah membekali desa dengan beragam mekanisme lain yang dapat mendorong terpenuhinya kesejahteraan masyarakat seperti keberadaan Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa).
Pria yang saat ini menambah gelar Doktor di Program Kajian Strategik dan Global Univeristas Indonesia itu lebih lanjut menjelaskan keberadaan desa yang memiliki karakter pemerintahan yang mengedepankan sikap kerukunan dan kegotongroyongan. Dua sikap ini dikatakan terjelma atau ada dalam sistem kelembagaan Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
“BPD ini seperti MPR bila di tingkat nasional,” ujarnya.
Dalam menjalankan roda organisasi, pria yang pernah menjadi Plt Sesjen DPD itu mendorong agar aparat desa dan masyarakat memegang prinsip Sila IV Pancasila.
“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan,” tuturnya.
Sila itu menghendaki demokrasi yang ada mengedepankan kebersamaan dan kekeluargaan dengan mengutamakan kepentingan seluruh rakyat. Untuk itu, lanjutnya, setiap keputusan yang diambil oleh desa haruslah dilakukan melalui mekanisme musyawarah yang melibatkan segenap elemen masyarakat.
“Jika musyawarah serta kebiasaan-kebiasaan lain seperti gotong-royong dijalankan oleh desa, maka ikatan sosial yang kuat di masyarakat pun akan terjaga, dan nasionalisme bangsa pun akan semakin kokoh,” tambahnya.
Dirinya berpesan, ke depan demokrasi tidak akan dapat dipisahkan dari kemajuan teknologi. Untuk itu ia mengingatkan agar masyarakat terutama yang ada di desa untuk dapat selalu beradaptasi dengan perkembangan teknologi dan informasi.
“Di era industri 4.0 bahkan sudah mulai masuk era society 5.0, keniscayaan beradaptasi dengan era global adalah prasyarat agar desa pun tidak tergerus oleh dampak dari kemajuan global,” papar pria yang juga menjadi Ketua Yayasan Yustisia Soedirman ini.
Ini penting, untuk itu jangan sampai masyarakat desa menjadi penonton dalam pusaran global. Masyarakat desa, katanya, harus menjadi pemain utama dalam proses kemajuan.
Di akhir pemaparan, Ma’ruf Cahyono berpesan tidak ada bangsa besar kalau bangsa itu tidak berada di atas fondasi nilai moralnya. Mengutip pendapat John Gardner, dikatakan tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika bangsa itu tidak percaya kepada sesuatu, dan sesuatu yang dipercaya itu tidak memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban besar. Diungkapkan, banyak bangsa yang hancur, roboh, karena mereka keluar dari rel moral yang telah mereka sepakati sendiri.
Menurutnya bila Indonesia hendak menjadi bangsa yang kuat maka nilai moral yang berdasarkan Pancasila harus dibangun dari desa yang merupakan satuan pemerintahan yang paling terdepan dan dekat dengan rakyat.
Dalam kesempatan itu, Natim memaparkan potensi dan permasalahan yang dihadapi oleh Jurangbahas. Dirinya senang mendapat pencerahan dari Ma’ruf Cahyono. Pencerahan yang ada diakui oleh Natim sangat menarik dan bermanfaat bagi Jurangbahas agar desa ini bisa mandiri tidak tergantung dari pihak lain dalam melaksanakan prmbangunan yang berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila.
Sambung rasa dengan warga sangat gayeng sehingga berbagai masalah yang ada, mulai dari soal sosial, ekonomi, peran pemerintah dan masyarakat dalam pembangunan desa yang dibahas.