SERAYUNEWS – Sudah beberapa minggu terakhir, banyak warga Indonesia mengeluh soal teriknya cuaca. Lantas, sampai kapan panas ekstrem di Indonesia?
Pasalnya, siang hari terasa begitu menyengat, bahkan pada sore menjelang malam pun udara masih menahan panas. Di beberapa daerah, suhu mencapai lebih dari 37 derajat Celsius.
Pertanyaan yang paling sering muncul di media sosial: “Sampai kapan panas ekstrem ini akan berakhir?”
Fenomena ini memang cukup luar biasa. Biasanya, di bulan Oktober beberapa wilayah Indonesia mulai memasuki musim hujan.
Namun, tahun ini justru panas terasa lebih lama. Dari Sumatera hingga Nusa Tenggara, udara kering dan terik tampak mendominasi.
Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), suhu tinggi ini bukan hal aneh dalam konteks iklim tropis.
Panas ekstrem terjadi karena dua faktor utama: posisi gerak semu matahari dan pengaruh Monsun Australia.
Gerak semu matahari adalah fenomena ketika posisi matahari tampak bergeser ke selatan ekuator.
Sekitar Oktober, matahari berada hampir tegak lurus di atas wilayah Indonesia bagian tengah dan selatan, seperti Jawa, Bali, Nusa Tenggara, dan sebagian Kalimantan.
Ketika sinar matahari jatuh lebih langsung, intensitas panas di permukaan bumi meningkat tajam.
Di saat bersamaan, Monsun Australia membawa udara kering dan hangat.
Udara kering ini membuat kelembapan turun, pembentukan awan menurun, dan langit tampak lebih cerah hampir sepanjang hari.
Kombinasi kedua faktor tersebut menciptakan “langit tanpa naungan” yang membuat panas matahari terserap penuh ke permukaan tanah.
Tak heran, pada siang hari udara terasa sangat menyengat meski Anda sudah berteduh.
Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Guswanto, menyampaikan bahwa “suhu maksimum mencapai 37,6°C di Majalengka dan Boven Digoel.”
Sementara daerah lain seperti Nusa Tenggara Barat, Kalimantan, dan sebagian Jawa juga mencatat suhu antara 35–37°C.
Angka ini menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah Indonesia sedang berada pada fase puncak panas tahunan.
Kondisi seperti ini biasanya berlangsung selama beberapa minggu sebelum akhirnya suhu mulai menurun secara perlahan.
Meski begitu, BMKG menegaskan bahwa fenomena ini masih tergolong panas harian tinggi, bukan gelombang panas ekstrem seperti yang biasa terjadi di wilayah subtropis.
Artinya, suhu masih dalam batas wajar untuk wilayah tropis seperti Indonesia, meski tetap perlu diwaspadai dampaknya bagi kesehatan dan lingkungan.
Menurut perkiraan BMKG, cuaca panas akan berlangsung hingga akhir Oktober atau awal November 2025.
Setelah itu, posisi matahari akan bergeser lebih jauh ke selatan dan membuka peluang terbentuknya awan hujan di wilayah Indonesia bagian tengah dan barat.
Pergantian ini biasanya menandai datangnya awal musim hujan.
Kelembapan udara meningkat, suhu harian menurun, dan cuaca mulai terasa lebih sejuk terutama pada sore dan malam hari.
Namun, transisi menuju musim hujan tidak terjadi serentak.
Wilayah barat Indonesia seperti Sumatera dan sebagian Jawa akan lebih dulu mengalami peningkatan curah hujan.
Nah, sementara wilayah timur seperti Nusa Tenggara biasanya baru menyusul beberapa minggu kemudian.
BMKG juga mengingatkan masyarakat agar tetap waspada terhadap perubahan cuaca yang cepat.
Ketika panas mencapai puncaknya, potensi cuaca ekstrem justru meningkat.
Udara panas di siang hari dapat memicu pertumbuhan awan konvektif pada sore menjelang malam, yang bisa menimbulkan hujan lebat sesaat, petir, hingga angin kencang.
Jadi meskipun siang terasa gersang, bukan berarti hujan tak akan turun sama sekali. Kondisi ini sering mengecoh.
Banyak orang tak siap menghadapi hujan deras mendadak setelah seharian panas terik.
Karena itu, BMKG menyarankan masyarakat terus memantau prakiraan cuaca harian melalui kanal resmi.
Selama suhu tinggi masih bertahan, Anda bisa melakukan beberapa langkah sederhana untuk menjaga tubuh tetap bugar dan terhindar dari risiko dehidrasi:
Fenomena ini juga memberi gambaran tentang bagaimana perubahan iklim global mulai terasa nyata di Indonesia.
Peningkatan suhu rata-rata, musim kering yang memanjang, dan pergeseran awal musim hujan menunjukkan bahwa sistem iklim kita sedang berada dalam fase yang tidak stabil.
Dalam konteks global, tahun 2025 diperkirakan menjadi salah satu tahun dengan suhu permukaan bumi tertinggi dalam dua dekade terakhir.
Fenomena El Niño yang masih berpengaruh turut memperkuat panas di wilayah tropis.
Karena itu, meski panas ekstrem kali ini bersifat sementara, tren jangka panjang menunjukkan bahwa periode cuaca panas di Indonesia bisa semakin sering dan lebih intens di masa depan.***