
SERAYUNEWS – Di tengah penantian pengumuman Upah Minimum Provinsi (UMP) yang dijadwalkan mundur hingga 8 Desember 2025, gelombang aspirasi buruh di Kabupaten Cilacap mulai menguat. Aliansi Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) Cilacap secara resmi menyuarakan tuntutan kenaikan Upah Minimum Kabupaten (UMK) tahun 2026 sebesar 21 persen, atau setara dengan Rp3,1 juta dari UMK saat ini Rp2,6 juta.
Ketua Aliansi SP/SB Cilacap, Dwiantoro Widagdo, menegaskan bahwa tuntutan tersebut bukan sekadar angka persentase tanpa dasar. Menurutnya, usulan kenaikan UMK itu lahir dari kajian mendalam berdasarkan kondisi riil perekonomian makro maupun mikro di wilayah Cilacap.
“Salah satu indikator utama yang menjadi rujukan adalah Komponen Hidup Layak (KHL). Berdasarkan hasil survei kebutuhan hidup buruh, nilai KHL saat ini berada di kisaran Rp3.188.000. Angka tersebut menunjukkan adanya selisih sekitar 21 persen dibandingkan dengan UMK Cilacap yang berlaku saat ini,” tegas Dwiantoro dalam keterangannya, Jumat (5/12/2025).
Dwiantoro juga menyinggung landasan hukum yang memperkuat tuntutan tersebut, yakni Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168 Tahun 2023, yang mengamanatkan bahwa penentuan upah minimum harus kembali memperhatikan KHL. Ia mengingatkan bahwa sejak 2017, penetapan upah tidak lagi berbasis survei KHL, sebelum akhirnya dikembalikan kembali melalui putusan MK.
Di sisi lain, tekanan ekonomi juga semakin terasa akibat kenaikan harga barang dan jasa. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Oktober 2025 nilai Indeks Harga Kumulatif (IHK) Cilacap mencapai 109,18 persen. Artinya, buruh menghadapi lonjakan beban hidup lebih dari 10 persen.
“Hal tersebut tentu saja semakin menggerus daya beli buruh Cilacap,” ujar Teguh Purwanto, anggota Dewan Pengupahan Cilacap unsur buruh.
Ia menambahkan, situasi ini berpotensi memicu penurunan kualitas maupun kuantitas konsumsi keluarga buruh. Bahkan tidak sedikit buruh yang terpaksa terjerat utang demi menutup kebutuhan hidup sehari-hari.
Kondisi ini semakin berat karena dalam praktiknya, UMK kini bukan lagi sekadar berlaku bagi buruh lajang dengan masa kerja nol tahun, melainkan telah menjadi standar upah umum tanpa memandang status maupun masa kerja.
Dengan mempertimbangkan berbagai faktor tersebut, mulai dari kenaikan harga, kebutuhan hidup layak, hingga upaya menekan angka kemiskinan dan menggairahkan sektor UMKM, Aliansi SP/SB Cilacap akhirnya memantapkan sikap.
“Berdasarkan beberapa hal di atas dan dalam rangka mengurangi jumlah angka kemiskinan serta menggerakkan perekonomian daerah terutama UMKM, kami menuntut kenaikan UMK Cilacap tahun 2026 sebesar 21 persen atau menjadi Rp3.194.000,” pungkas Dwiantoro.
Aspirasi ini menjadi sinyal kuat bagi pemangku kebijakan agar penetapan UMK 2026 tidak hanya mempertimbangkan aspek pertumbuhan ekonomi, tetapi juga berpijak pada realitas kehidupan buruh di lapangan.