SERAYUNEWS – Siapakah inisiator tuntutan 17+8? Awal September 2025, jagat media sosial Indonesia dikejutkan dengan maraknya unggahan berisi “17+8 Tuntutan Rakyat”.
Poster digital yang beredar luas itu bukan hanya sekadar seruan, melainkan daftar aspirasi masyarakat yang disusun dengan tenggat waktu jelas.
Fenomena ini muncul usai gelombang aksi demonstrasi besar pada 28–30 Agustus 2025, yang berlangsung di berbagai daerah di Indonesia.
Poster berisi 17 tuntutan jangka pendek dan 8 tuntutan jangka panjang itu sontak menjadi bahan perbincangan publik. Istilah “17+8” bahkan menempati trending topic di media sosial.
Sejumlah publik figur ikut membagikan seruan tersebut, mulai dari komedian Soleh Solihun, aktor Lukman Sardi, grup musik Efek Rumah Kaca, hingga kreator konten Andovi da Lopez.
Kehadiran mereka memperkuat gaung gerakan ini, sehingga makin banyak warganet yang mengenal dan membicarakannya.
Fenomena 17+8 menandai babak baru dalam dinamika demokrasi digital. Media sosial kini menjadi wadah artikulasi politik yang lebih luas dan terstruktur.
Aspirasi yang sebelumnya berserakan di jalanan atau forum daring kini diformalkan dalam bentuk daftar tuntutan konkret.
Berbeda dengan gerakan politik pada umumnya, tuntutan ini tidak dimotori oleh satu organisasi atau tokoh tertentu.
Menurut keterangan yang beredar, 17+8 merupakan hasil perumusan aspirasi masyarakat sipil. Sejumlah tokoh digital seperti Salsa Erwina, Jerome Polin, dan Cheryl Marella berperan merangkum aspirasi warganet menjadi poin-poin konkret.
Dukungan pun datang dari berbagai elemen. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) tercatat memfasilitasi ratusan organisasi masyarakat sipil untuk menyatukan suara.
Selain itu, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Ikatan Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Indonesia, hingga Center for Environmental Law & Climate Justice UI ikut bergabung.
Bahkan, tuntutan buruh yang sempat mewarnai aksi 28 Agustus serta petisi daring di Change.org turut dimasukkan ke dalam daftar.
Aspirasi rakyat ini dibagi dalam dua kategori:
17 tuntutan jangka pendek yang harus ditindaklanjuti maksimal 5 September 2025.
8 tuntutan jangka panjang dengan tenggat waktu 31 Agustus 2026.
Dalam tuntutan jangka pendek, fokus diarahkan kepada Presiden Prabowo Subianto, DPR, partai politik, Polri, TNI, dan Kementerian Ekonomi.
Beberapa poin penting antara lain penarikan TNI dari pengamanan sipil, pembentukan tim investigasi kasus kekerasan aparat terhadap demonstran, pembekuan kenaikan gaji anggota DPR, pembebasan demonstran yang ditahan, serta jaminan upah layak bagi pekerja.
Sementara itu, tuntutan jangka panjang mencakup agenda yang lebih sistematis, seperti reformasi menyeluruh DPR dan partai politik, pengesahan UU Perampasan Aset Koruptor, perombakan sistem perpajakan, reformasi Polri agar lebih humanis, penegasan peran TNI agar kembali ke barak, penguatan Komnas HAM, serta peninjauan ulang kebijakan ekonomi termasuk UU Cipta Kerja.
Respons Publik dan Pesan untuk Pemerintah
Sejumlah tokoh publik menekankan pentingnya pemerintah merespons serius daftar tuntutan tersebut.
Soleh Solihun, misalnya, melalui unggahannya menulis bahwa jika keinginan rakyat bisa diwujudkan, maka kepercayaan publik terhadap pemerintah akan pulih.
Jerome Polin juga menegaskan bahwa 17+8 merupakan suara rakyat Indonesia dengan batas waktu yang jelas, sehingga wajar jika publik menantikan bukti nyata, bukan sekadar janji politik.
Gerakan ini juga mencerminkan krisis kepercayaan publik terhadap lembaga negara. Dengan menyatukan suara dalam 17+8, masyarakat berharap Presiden, DPR, partai politik, Polri, dan TNI menunjukkan keseriusan dalam memperbaiki tata kelola pemerintahan.
Lebih jauh, viralnya 17+8 membuktikan bahwa rakyat tidak lagi pasif. Mereka mampu menggunakan teknologi dan jejaring sosial untuk menyusun, menyebarkan, dan menekan pemerintah agar bertindak.
Kini, publik menunggu apakah pemerintah benar-benar mendengarkan, atau justru membiarkan aspirasi itu berlalu tanpa jawaban.***