SERAYUNEWS- Rencana Revisi UU Pilkada oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI usai putusan MK, merupakan bentuk pembangkangan konstitusi. Langkah itu juga bentuk penghancuran prinsip negara hukum di Indonesia.
Demikian kata Pakar Hukum Tata Negara UIN Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto, M Wildan Humaidi.
Dia mengkritik keras rencana revisi UU Pilkada tersebut. Pernyataan itu Wildan sampaikan, menanggapi Baleg DPR yang melakukan pembahasan revisi UU Pilkada.
Wildan menjelaskan, tindakan DPR RI merevisi UU Pilkada bertentangan dengan prinsip negara hukum dalam UUD 1945 Pasal 1 Ayat (3), mengenai Negara Indonesia adalah Negara Hukum.
“DPR RI telah menyimpangi prinsip negara hukum. Sebagaimana dalam UUD 1945, Pasal 1 Ayat (3), bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Maknanya setiap penyelenggaraan bernegara dan berbangsa, harus berlandaskan pada hukum, bukan atas kekuasaan semata,” jelasnya.
Wildan juga menyoroti Pasal 24C UUD 1945 yang menyatakan, bahwa Putusan MK bersifat final dan mengikat (final and binding). Final artinya putusan MK sudah tidak ada mekanisme banding. Mengikat artinya, semuanya elemen negara harus taat dan patuh terhadap ketentuan amar putusan MK.
“Statement Baleg DPR yang menyatakan bahwa DPR RI tidak taat atau tunduk pada Putusan MK, merupakan pembangkangan atas prinsip atau asas Putusan MK yang final and binding,” jelas Dosen Fakultas Syariah UIN Saizu Purwokerto tersebut.
Selain itu, dalam UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dalam Pasal 10 Ayat (1) huruf d, salah satu materi muatan UU adalah tindak lanjut atas putusan MK.
“Ini artinya, UU mestinya lahir atas tindak lanjut putusan MK. Bukan malah sebaliknya, menyimpangi putusan MK. Ini mengindikasikan rencana revisi UU Pilkada, tidak sesuai pedoman dan prinsip pembentukan UU,” ujarnya.
Dia menilai, revisi UU Pilkada yang tidak mengikuti pedoman putusan MK, menunjukkan bahwa proses pembentukan UU tersebut tidak sesuai dengan prinsip. Dia khawatir adanya kepentingan tertentu, di balik rencana perubahan UU Pilkada.
“Rencana perubahan UU Pilkada, tentu menimbulkan kekhawatiran dan dugaan adanya kepentingan tertentu. Karena suatu perubahan UU, semestinya memiliki alasan sosiologis dan filosofis,” jelasnya.
Apalagi rencana perubahan tersebut secara mendadak, mengindikasikan adanya kepentingan. Suatu perubahan juga mestinya terdapat proses Daftar Inventaris Masalah (DIM) dan Naskah Akademik (NA).
Wildan memperingatkan bahwa perubahan UU yang tidak mengikuti putusan MK, dapat menimbulkan konflik kewenangan antarlembaga negara, seperti DPR dan MK. Hal ini berpotensi memicu masalah ketatanegaraan yang dapat mengganggu stabilitas nasional.