Ketika belajar dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi, ada begitu banyak orang mengira bahwa mereka sudah menjadi orang pintar dengan menguasai banyak hal, secara khusus pada bidang yang ditekuninya. Tapi sesungguhnya, ilmu yang mereka dapatkan hanya memperkuat fakta bahwa mereka tidak mengerti banyak apa yang diajarkan di sekolah dan perguruan tinggi.
Alasannya sederhana: kebanyakan dari mereka tidak dapat menjelaskan begitu banyak fenomena yang terjadi di sekitarnya. Mengapa hal ini bisa terjadi? Ini disebabkan karena para praktisi pendidikan saat ini lebih mementingkan nilai dan hasil yang dicapai tanpa mempedulikan bagaimana proses pendalaman materi itu diarahkan pada pemahaman dan upaya membuat sesuatu yang diajarkan mudah dimengerti dan dikembangkan.
Sekolah-sekolah kita terjebak dalam pola Pendidikan yang kaku, dimana hampir sebagian besar anak didik diarahkan untuk mencapai hasil akademik yang maksimal tanpa mempedulikan berbagai kecerdasan lain di luar kecerdasan akademik. Salah satunya adalah kecerdasan emosi.
Ada begitu banyak orangtua yang bangga dengan prestasi akademik anaknya di sekolah tanpa melihat apakah hasil yang dicapai anaknya adalah proses yang murni diperoleh
Berdasarkan kecerdasan majemuk, ataukah hanyalah ilusi pendidikan formal yang diajarkan secara kaku, sehingga mematikan sendi-sendi dari suatu inovasi dan kreativitas. Yang justru harus dikembangkan lebih jauh lagi di sekolah-sekolah kita atau universitas-universitas adalah kecerdasan emosi yang sungguh masih terlihat jauh di dalam lingkup akademisi kita.
Proses pencerahan dunia pendidikan harus segera dimulai saat ini juga kalau kita mau sekolah dan universitas kita keluar dari ‘penjara intelektual’ yang miskin akan kecerdasan emosional dan sosialnya. Para guru dan dosen hendaknya tidak hanya berlomba ‘mencetak’ manusia- manusia yang pintar dari segi akademik, sehingga nantinya terjun ke masyarakat, mereka akan mengerti dan tahu apa yang harus dilakukan dan mengerti tanggung jawab yang dibebankan di pundak mereka.
Beruntungnya, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim terus menggerakkan program Tranformasi Pendidikan. Salah satunya yakni trobosan Merdeka Belajar. Tujuannya untuk menciptakan pendidikan berkualitas untuk semua dan transformasi menuju masa depan yang lebih baik, dan berkelanjutan.
Dari program Merdeka Belajar itu cukup banyak manfaat yang bisa dirasakan oleh penekun Pendidikan. Sebut saja, sudah ada lebih dari 3.500 komunitas belajar guru dan 55 ribu konten belajar mandiri. Tidak hanya itu, lebih dari 1,6 juta guru telah menggunakan platfom Merdeka Mengajar secara sukarela yang lebih mandiri.
Artinya, hari ini pendidikan sangat bergantung pada teknologi modern dan internet agar pendidikan tidak lagi akan terhambat dan generasi muda bisa belajar dengan aman dan nyaman. Dilihat dari profesionalisme dunia pendidikan menjadi salah satu faktor signifikan terhadap masa depan bangsa Indonesia. Untuk itu, kapasitas dan kapabilitas guru atau pendidik harus selaras dengan pesatnya perkembangan zaman.
Dengan teknologi transformasi ini juga telah membantu terfasilitasinya pengembangan diri lebih dari 724 mahasiswa melalui Kampus Merdeka. Bahkan ada lebih dari 2.700 industri dalam kampus merdeka. Tidak cukup sampai di situ, bahkan baru-baru ini tercatat 13 ribu praktisi ikut serta tergabung dalam program Praktisi Mengajar.
Esi Saputri, S.Pd
Penulis merupakan Mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa Inggris
Universitas Muhammadiyah Purwokerto