SERAYUNEWS – Belakangan ini, gempar di publik otomotif Indonesia: pemerintah menyetujui pencampuran etanol dalam bahan bakar minyak (BBM). Lantas, apakah etanol bagus untuk kendaraan?
Pasalnya, langkah tersebut digadang-gadang sebagai langkah strategis untuk menurunkan emisi karbon serta mengurangi ketergantungan impor bensin.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menyebut Presiden Prabowo Subianto sudah menyetujui untuk direncanakan mandatori 10 persen etanol (E10).
Namun, meskipun niatnya mulia, penggunaan etanol di BBM menimbulkan perdebatan: apakah benar-benar baik untuk kendaraan? Apa risiko yang mungkin muncul?
Mari kita kupas bersama aspek positif dan sisi negatifnya, agar Anda bisa lebih cermat menghadapi era baru bahan bakar campuran ini.
Etanol, yang juga sering disebut etil alkohol atau alkohol murni, adalah senyawa kimia dengan rumus molekul C₂H₅OH.
Menurut Britannica, etanol adalah senyawa organik yang mudah terbakar dan menguap, sering digunakan dalam berbagai aplikasi industri, medis, maupun sebagai bahan bakar alternatif.
Dalam konteks BBM, etanol menjadi aditif untuk mencampur bahan bakar fosil.
Departemen Energi AS mencatat bahwa etanol sangat kerap digunakan sebagai komponen bahan bakar terbarukan, terutama dalam campuran sebanyak 10 persen (E10).
Di Indonesia sendiri, kandungan etanol sudah hadir dalam beberapa produk Pertamina.
Misalnya, Pertamax Green 95mengandung 5 persen etanol (E5), lalu Pertamax Green 92 (yang merupakan basis dari Pertalite) mengandung sekitar 7 persen, dan bagian dari Base Fuel Pertamina mengandung etanol sebesar 3,5 persen.
Laporan juga menyebut bahwa beberapa SPBU swasta seperti BP dan Vivo membatalkan pembelian Base Fuel Pertamina karena “mengandung 3,5 persen etanol” yang dianggap tidak sesuai spesifikasi teknis.
1. Pengurangan Emisi Karbon
Dengan memasukkan etanol sebagai bahan bakar, kandungan karbon fosil yang dilepas ke udara bisa ditekan.
Etanol diberi harapan sebagai bahan bakar “lebih hijau”.
2. Mengurangi Ketergantungan Impor
Dengan memproduksi etanol lokal (dari tanaman seperti tebu, singkong, kelapa sawit), Indonesia bisa mengurangi kebutuhan impor bensin fosil.
3. Sumber Energi Terbarukan
Etanol dianggap sebagai energi terbarukan karena bisa diproduksi dari biomassa.
Sehingga pemakaian etanol membantu transisi ke energi yang lebih bersih.
Tentu saja, perubahan paradigma bahan bakar membawa sejumlah konsekuensi teknis. Berikut beberapa risiko yang sudah dicatat:
1. Penurunan Konsumsi Efisiensi Bahan Bakar
Etanol memiliki kandungan energi yang lebih rendah dibanding bensin murni. Akibatnya, kendaraan membutuhkan volume bahan bakar lebih banyak untuk menjalankan tenaga yang sama.
Beberapa sumber menyebut bahwa untuk campuran E10, penurunan efisiensi bahan bakar rata-rata bisa antara 3,5 sampai 5 persen dibanding bensin tanpa etanol.
2. Kerusakan Material Mesin dan Komponen Bahan Bakar
Buku panduan Honda Vario menyebut bahwa BBM yang mengandung 10 persen etanol bisa menyebabkan kerusakan pada warna cat tangki, merusak selang bahan bakar, serta menyebabkan karat di bagian dalam tangki.
3. Korosi dan Karat
Etanol bersifat higroskopis (menyerap air) dan bersifat korosif terhadap bahan logam dan karet yang tidak tahan.
Jika ada kelembapan, maka karat bisa muncul, terutama pada komponen yang bersentuhan langsung dengan bahan bakar.
4. Kompatibilitas dengan Kendaraan Lama
Banyak mobil atau motor tua yang belum didesain untuk bahan bakar beretanol.
Pada kendaraan lawas, penggunaan etanol bisa mempercepat degradasi seal, gasket, atau selang bahan bakar.
Bahkan, dalam studi, sebagian mobil model tahun 2001–2009 yang menggunakan campuran etanol menunjukkan kerusakan pada katup dan komponen internal.
5. Masalah pengapian dan performa pada suhu dingin
Etanol memerlukan sifat penguapan yang baik agar mudah menyala di kondisi mesin dingin. Jika tidak, kendaraan bisa sulit menyala pada suhu rendah
Rencana pemerintah adalah menjadikan campuran 10 persen etanol (E10) sebagai mandatori dalam BBM.
Dengan keputusan Presiden sudah disetujui, pembahasan teknis dan kesiapan infrastruktur pun tengah dikaji.
Namun perlu dicatat: produksi etanol domestik saat ini belum optimal untuk memenuhi kebutuhan besar.
Menurut Reuters, kapasitas produksi etanol Indonesia pada 2024 adalah sekitar 303.325 kiloliter, tetapi realisasi produksi hanya 160.946 kL.
Hal ini memunculkan tantangan dalam memenuhi permintaan E10 secara massal.***