
SERAYUNEWS – Dunia kesehatan global tengah berada di persimpangan besar antara pengobatan Barat berbasis kimiawi dan pengobatan Timur yang berakar pada tradisi herbal dan rempah.
Fenomena ini dibedah secara mendalam oleh Prof. Yudhie Haryono, Ph.D, dalam diskusi dan bedah buku Manifesto Herbal dan Rempah Indonesia bersama indiebanyumas di Purwokerto, Senin (29/12/2025).
Diskusi tersebut tidak hanya menyoal kesehatan, tetapi juga menyentuh dimensi ideologi, peradaban, hingga potensi ekonomi nasional.
Dalam paparannya, Yudhie menyoroti perubahan wajah pengobatan Barat yang menurutnya telah bergeser menjadi industri kesehatan.
“Pasien tidak benar-benar disembuhkan, tetapi dikelola agar terus kembali. Dari situ muncul ketergantungan dan efek samping obat-obatan kimia,” katanya.
Menurutnya, sistem ini lebih berorientasi pada keberlanjutan pasar obat dibandingkan pemulihan manusia secara utuh.
Berbeda dengan pendekatan Barat, tradisi pengobatan Timur justru menitikberatkan pada penguatan daya tahan tubuh. Pendekatan ini tidak menargetkan penyakit secara langsung, melainkan memperkuat sistem biologis manusia.
“Yang dilakukan pengobatan Timur bukan semata penyembuhan, tetapi penguatan manusia. Tubuh yang kuat membuat penyakit tidak berkembang,” jelas Yudhie.
Ia menyebut konsep ini sebagai efek depan, yakni dampak jangka panjang yang meningkatkan ketahanan tubuh, bukan sekadar meredam gejala.
Yudhie menilai perbedaan paradigma kesehatan tidak lepas dari akar ideologis dan ontologis masing-masing peradaban. Ia menyebut paradigma Barat cenderung greedy dan eksploitatif, sementara Timur lebih humanistik dan selaras dengan alam.
Gagasan tersebut lahir dari riset selama enam bulan mengenai Jalur Rempah, yang didahului oleh enam rangkaian pameran sejarah.
“Dari pameran lalu diperdalam melalui riset, menjadi jurnal, dan akhirnya menjadi buku,” ujarnya.
“Jalur sutra berbasis perdagangan, sementara jalur orientalisme berbasis kolonialisme. Ketiganya terus bertarung hingga hari ini,” kata dia.
Potensi Rempah Rp2.600 Triliun per Tahun
Meski memiliki akar peradaban panjang, Yudhie menyayangkan rempah dan herbal Indonesia belum dikelola secara strategis oleh negara. Padahal, nilai ekonominya sangat besar.
Ia memperkirakan perputaran uang sektor rempah mencapai Rp600 triliun per tahun, dengan kontribusi terhadap APBN sekitar Rp120 triliun.
“Jika dihitung secara menyeluruh, termasuk impor, ekspor, dan sektor turunannya, nilainya bisa mencapai Rp2.600 triliun per tahun,” katanya.
Sebagai langkah konkret, Yudhie mengusulkan pembentukan Badan Nasional Rempah dan Herbal Indonesia yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Lembaga ini diharapkan mampu menyatukan kebijakan lintas sektor agar rempah tidak hanya menjadi komoditas ekonomi, tetapi juga:
“Rempah dan herbal bukan sekadar komoditas, tetapi kekuatan peradaban,” tegasnya.