SERAYUNEWS- Jutaan orang di seluruh dunia tengah mengikuti tren baru yang mengubah foto menjadi ilustrasi bergaya animasi Studio Ghibli.
Hal tersebut didorong oleh fitur terbaru dari ChatGPT 4.0 milik OpenAI yang kini menjadi viral.
Namun, tren ini mendapat kritik dari banyak seniman kreatif lintas bidang. Mereka menilai bahwa praktik tersebut melanggar hak cipta dan merendahkan karya seniman manusia.
Megumi Ishitani, sutradara anime legendaris dari One Piece, turut mengecam tren AI bergaya Studio Ghibli yang belakangan ini menjadi sorotan.
Ia bahkan menyerukan tindakan hukum atas penggunaan ilegal terhadap gaya visual yang melekat pada karya Hayao Miyazaki.
Tren AI bergaya Studio Ghibli terus meraih popularitas, bahkan sejumlah selebritas dan politisi mulai memanfaatkan generator gambar AI dari ChatGPT untuk membuat ilustrasi yang terinspirasi dari gaya khas Ghibli.
Namun, di balik sorotan tersebut, muncul kritik tajam dari kalangan seniman.
Hayao Miyazaki, salah satu pendiri Studio Ghibli sekaligus tokoh yang vokal menentang penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam seni, kembali menyampaikan pandangannya.
Menurut Miyazaki, meskipun AI mampu meniru bentuk visual dan gerakan, teknologi ini tidak dapat merepresentasikan kedalaman emosi manusia yang menjadi inti dari karya seni.
Baginya, seni bukan sekadar menciptakan gambar yang menarik secara visual, tetapi juga merupakan wujud dari pengalaman dan perasaan manusia yang mendalam.
Menurut Rob Rosenberg, pakar hukum AI dari Showtime, Studio Ghibli memiliki dasar hukum untuk mengajukan gugatan terhadap OpenAI di bawah undang-undang hak cipta Amerika Serikat atas dugaan pelanggaran hak cipta dan promosi yang menyesatkan.
Di AS, hukum, The Lanham Act, memungkinkan pihak tertentu untuk menuntut perusahaan yang menggunakan elemen merek dagang tanpa izin.
Dalam konteks ini, Studio Ghibli dapat mengajukan argumen berikut.
Rob juga menyampaikan bahwa meniru gaya seni yang khas dengan bantuan AI dapat menjadi bentuk eksploitasi tanpa memberikan imbalan kepada pencipta asli.
Perseteruan antara Studio Ghibli dan tren AI ini mencerminkan dilema besar dunia seni di tengah perkembangan teknologi modern.
Di satu sisi, teknologi AI menawarkan efisiensi dan terobosan baru. Namun, di sisi lain, hal ini memicu kekhawatiran atas hilangnya nilai-nilai seni tradisional yang sarat emosi dan dedikasi manusia.
Apakah jalur hukum akan menjadi solusi? Atau justru menandai dimulainya babak baru dalam hubungan antara seni dan kecanggihan teknologi?***