
SERAYUNEWS — Di tengah tantangan kerusakan tanah, menurunnya produksi padi, dan mahalnya pupuk, sekelompok petani di Desa Dawuhan, Kecamatan Banyumas, memilih melawan arus. Mereka memutuskan kembali ke alam, memulai pertanian organik, dan kini justru menjadi salah satu lokomotif ketahanan pangan berkelanjutan di Kabupaten Banyumas.
Gerakan ini lahir dari tangan-tangan petani yang tergabung dalam Gapoktan Marsudi Lestari. Dengan dukungan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Purwokerto, upaya kecil itu menjelma menjadi sebuah ekosistem pertanian organik yang mapan, produktif, dan bernilai ekonomi tinggi.
Slamet, Ketua Kelompok Tani Marsudi Lestari, mengisahkan bahwa keputusan beralih ke organik pada 2017 bukan sekadar pilihan, melainkan kebutuhan mendesak.
“Petani mulai khawatir tanah semakin rusak, produksi turun, sementara pupuk juga sulit didapat. Dari situlah kami berpikir, sudah saatnya kembali ke pertanian organik,” ujarnya.
Di tahun pertamanya, pertanian organik di Dawuhan hanya menggarap 3,5 hektare lahan. Perlahan namun pasti, minat dan hasil meningkat. Hingga 2024, luas lahan mencapai 5 hektare, melibatkan 14 petani.
Hasil panennya pun semakin menjanjikan. Jika sebelumnya produksi hanya sekitar 6–7 ton gabah kering sekali musim, pada musim tanam pertama tahun 2025 mereka berhasil menembus angka 8,4 ton. Sebuah prestasi yang menunjukkan bahwa pertanian organik bukan hanya ramah lingkungan, tetapi juga produktif.
Perjalanan Dawuhan menuju desa pertanian organik tak lepas dari peran Bank Indonesia Purwokerto. Dukungan ini dimulai pada 2022, berlanjut hingga kini, dan menjadi penguat utama ekosistem organik Marsudi Lestari.
Slamet menjelaskan, bantuan dari BI meliputiM, rice milling khusus beras organik, vacuum sealer untuk pengemasan higienis, timbangan digital kapasitas besar dan kecil, alat penyuling asap cair untuk pengendalian hama alami, pelatihan inovasi produk dan pengembangan kapasitas petani, serta pendampingan pengolahan hasil turunan.
“Bantuan ini tidak hanya mengubah proses tanam, tapi memberi dampak besar bagi ekonomi petani,” ujar Slamet.
Pendampingan ini memungkinkan petani Dawuhan menaikkan kualitas sekaligus nilai tambah produk mereka, sehingga tidak hanya menjual gabah, tetapi juga produk olahan yang memiliki margin lebih tinggi.
Salah satu dampak terbesar dari ekosistem organik di Dawuhan adalah pelibatan Kelompok Wanita Tani (KWT) dalam industri turunan beras organik. Para ibu terlibat aktif dalam produksi, serbuk bekatul organik, kripik beras, hingga tepung beras organik.
Keterlibatan KWT bukan hanya memperluas nilai ekonomi produk organik, tetapi juga memberdayakan perempuan desa, menciptakan rantai ekonomi yang lebih inklusif.
Produk-produk ini kini dipasarkan di KDMP Desa Dawuhan, menambah akses pasar bagi kelompok tani.
Ekosistem organik di Dawuhan tidak menyisakan limbah. Semua bagian tanaman kembali menjadi manfaat, jerami kemudian diolah menjadi pupuk padat, beras organik dikonsumsi dan dijual, menir dijadikan tepung dan bahan makanan, bekatul diolah jadi minuman sehat dan sekam diproses menjadi asap cair sebagai pestisida alami.
Dengan sistem ini, Gapoktan tidak tergantung pada pupuk subsidi maupun bahan kimia. Bahkan, pupuk organik yang mereka hasilkan kini menjadi alternatif bagi petani lain saat pupuk subsidi langka.
Gapoktan juga berperan sebagai penyedia stok beras organik melalui Koperasi Merah Putih Desa Dawuhan, memastikan distribusi lebih stabil.
Kolaborasi antara petani, masyarakat, dan Bank Indonesia Purwokerto menunjukkan bahwa ketahanan pangan bukan sekadar slogan. Di Dawuhan, ia telah menjadi gerakan nyata.
Dengan lahan yang terus berkembang, produk turunan yang makin beragam, serta produksi yang meningkat setiap tahun, Dawuhan berpotensi menjadi contoh nasional bagaimana pertanian organik bisa menyelamatkan tanah sekaligus meningkatkan kesejahteraan.
“Yang kami lakukan adalah upaya menjaga tanah, menjaga kesehatan, dan menjaga pendapatan petani. Dengan adanya dukungan BI, kami semakin yakin pertanian organik adalah masa depan,” kata Slamet.