Misroni, Anisa ristifauzi, Bangkit Rifai, Adi Pringgo Yunanto, adalah muda-mudi asal Desa Karangtalun, Kecamatan Bobotsari, Purbalingga. Saat ini, mereka tengah berupaya mengimplementasikan pesan yang tersirat dalam lirik lagu Iwan Fals yang berjudul ‘Desa’. Berbuat semampunya, berkontribusi sesuai kapasitasnya. Membangun desa, meningkatkan derajat ekonomi warga.
Pandemi covid-19 memaksa pembatasan ruang dan gerak manusia. Dampaknya, berbagai aspek lumpuh, yang berimbas pada kelumpuhan sektor perekonomian. Kondisi yang entah akan kapan pulih kembali. Di tengah kebimbangan, dan dengan segala keterbatasan. Nisa, Ayu, Bangkit, Pringgo, dan Misroni tidak ingin berdiam diri.
Semangat mereka semakin menyala dengan dukungan Heru Catur Wibowo, sebagai Kepala Desa. Mencoba menggali potensi yang dimiliki desa. Menggerakkan masyarakat untuk tidak larut dalam keterpurukan. Mereka bentuk berbagai Griya atau Rumah. Saat ini, telah ada delapan griya, dalam balutan Kampung Wisata Tematik Sikadut. Dalam penyebutannya, mereka membuat akronim tempat itu dengan sebutan “Katamas”.
“Wisata ini hanya sebagai balutannya saja, sebagai kemasan,” kata Misroni, kepada Serayunews.com , Sabtu (11/10/2020).
Begitu masuk di wilayah Desa Karangtalun, pengunjung akan melihat buah bergelantungan, pada sebuah kanopi panjang menuju sebuah rumah. Tempat tersebut merupakan Griya Wanita Tani. Menampung aktifitas dan program dari wanita tani setempat. Tidak hanya komoditi hasil pertanian saja. Ada berbagai produk pendukung dunia pertanian mereka ciptakan.
“Komoditi pertanian jelas mereka (wanita tani, red) hasilkan, seperti sayur, palawija, dan padi tentunya. Selain itu, ada juga pembuatan pupuk, media tanam, dsb. Peran kita apa, ikut mendampingi bagaimana pengemasan dan pemasaran,” kata Misroni, yang dipercaya sebagai General Manajer Katamas.
Saat melanjutkan perjalanan, di sebuah perempatan jalan, pada satu sudut terdapat rumah dengan desain sebagai etalase. Terdapat meja panjang, yang menjajakan berbagai produk makanan. Tentu, semua makanan adalah hasil produksi warga setempat.
“Ini Griya Jajanan, menjadi pusat penjualan produk makanan, jajanan. Tidak ada yang khas, tapi kami pastikan semua produk olahan warga sini. Ada32 orang pengusaha, dan 58 produk,” katanya.
Untuk memudahkan dalam pengelompokan dan pengenalan, maka dibuat spesifikasi. Selain Griya Wanita Tani, dan Griya Jajanan, ada enam griya lagi. Masing-masing yakni Griya Seni, Griya Anggur, Griya Sarah, Griya Pakaryan, Griya Papringan.
Griya Seni menjadi basecamp kesenian. Berbagai kesenian lokal, bertempat disini. Selain tempat latihan, Griya Seni didesain untuk panggung penampilan juga. Griya Anggur merupakan tempat penanaman dan pembibitan Anggur. Tak sebatas menghasilkan produk, tetapi penataannya pun memperhatikan estetika.
“Untuk menarik pengunjung, kami tata griya anggur semenarik mungkin. Pengunjung bisa beli bibit tanaman, juga bisa belajar cara menanam. Untuk foto foto menarik juga,” katanya.
Griya Pakaryan adalah tempat menampung semua kerajinan hasil karya warga. Berbagai hiasan, dan pernak pernik lainnya. Ada pigura, ada perahu bambu, ada gantungan kunci, dan sebagainya. Griya Sarah, merupakan induk dari bank sampah. Ada aktifitas pemilahan sampah, pengolahan sampah. Serta pemanfaatan sampah menjadi rupiah.
“Konsepnya seperti bank sampah. Sampah yang telah dipilah, lalu diolah. Bisa jadi pupuk, bisa jadi bahan kerajinan, pokoknya bagaimana bisa menghasilkan pundi-pundi rupiah,” kata dia.
Keliling kampung berlanjut. Sampailah pada sebuah kebun bambu. Nah, kebun bambu ini rasanya tidak pantas lagi disebut kebun. Taman bambu rasanya lebih cocok. Bagaimana tidak, kebun bambu ini jauh dari kesan kumuh, berantakan, dan menyeramkan. Tertata rapi, bersih, dan semakin eksotik dengan pemasangan lampu-lampu kecil.
“Sebulan sekali, Minggu Kliwon, kami agendakan sebagai pasar besar. Semua produk masing-masing griya ditampilkan di sini (Griya Papringan, red). Sehingga terlihat gebyar,” kata Musroni optimis.
Jika melihat sepintas, memang Desa Karangtalun tak ada beda dengan desa pada umumnya. Apalagi jika bicara wisata, seperti tak ada daya tariknya. Namun, setelah dikibarkannya Katamas, ternyata mulai muncul potensi-potensi untuk terus digali.
“Kami sadari mas, desa ini desa yang biasa banget, kalau jadi desa wisata pun bingung apa menariknya, karena kecenderungan desa wisata mengeksplore pesona alamnya. Makanya kami bikin tematik, dan wisata hanya sebagai pembalut saja,” kata Misroni.
Sejak dideklarasikan, Katamas, mungkin belum ada perubahan yang signifikan. Namun, tak bisa dipandang sebelah mata titik terang keberhasilan. Warga yang tadinya diam saja, saat ini terlihat geliatnya untuk berusaha. Disaat kondisi susah karena covid, semangat gotong royong justru menggelora.
“Kami bangun dan bergerak untuk ini swadaya. Hasil mungkin belum terlihat, tapi beberapa perubahan kecil namun menjadi hal besar kami rasakan. Potongan kayu atau bambu kecil, sekarang tidak hanya dibakar, bahan sesepele itu dipungut untuk membuat kerajinan. Ternyata mereka bisa,” ujarnya.
Pemuda pemudi yang menggawangi Katamas meyakini, tak ada yang sia-sia dari setiap usaha. Sekecil apa peran yang dilakoni, akan menuntun pada tujuan. Meningkatkan perekonomian masyarakat, membangkitkan kreatifitas dan semangat produktifitas, hingga mengangkat derajat hidup.
Setiap bidang sudah ada pelakunya. Namun untuk menjaga semangat dan konsistensinya perlu ada penggerak. Sebagai generasi muda yang notabennya lebih melek zaman, mereka ingin membantu kelancaran usaha. Salah satunya membantu pengemasan dan pemasaran menyesuaikan era sekarang, digital. Mereka percaya, apresiasi akan mengikuti eksistensi. Oleh karenanya perlu agar tetep menjaga konsistensi.
“Berusaha membangkitkan ekonomi di masa pandemi. Memacu masyarakat untuk kreatif, dan produktif. Karena ternyata banyak yang produktif, cuma belum bisa memasarkan,” kata Misroni.