SERAYUNEWS– Debat pilpres atau pemilihan presiden (presidential election debate) bertujuan untuk menghadirkan dialog yang menggarisbawahi perbedaan. Kemudian, pada kelanjutannya akan mendorong pemilih untuk membangun pilihan secara rasional.
Akan tetapi, merujuk pada artikel akademik “Political Debate: Forms, Style, and Media” yang dipublikasikan oleh Hart dan Jarvis (1997), menurut keduanya, pelaksanaan debat telah tereduksi menjadi acara teatrikal.
Para komentator debat acap merespons pada fokus-fokus yang terlalu teknis. Media berebutan untuk meliput dan menayangkan debat, sementara para kandidat presiden tak lebihnya daripada pemain teater tersebut.
Contohnya adalah debat capres di Amerika Serikat pada tahun 2020.
Debat yang mempertemukan capres Joe Biden dari Partai Demokrat dan Donald Trump dari Partai Republik tercatat sebagai debat yang begitu jauh dari acara demokrasi yang berkualitas.
Baik Biden dan Trump sama-sama mempertontonkan dialog yang gaduh dan jauh dari substansial. Diawali dengan sikap Trump yang cenderung dominan dan menyerang dengan terus menyela Biden, disambut dengan respons balasan Biden. Akhirnya, sesi debat pun menjadi penuh akan ejekan, pertengkaran, dan tuduhan.
Menariknya, format debat di Amerika Serikat tahun 2020 hampir mirip dengan di Indonesia tahun 2024 ini.
Namun, bukan soal teknisnya, melainkan sisi teatrikalnya. Kedua capres Anies dan Ganjar seolah sepakat menyerang Prabowo. Ini menurun ke debat cawapresnya.
Bukan lagi presentasi program dari masing-masing paslon, tetapi gerak teatrikal saling mengejek yang menjadi tontonan.
Wajar jika pada akhirnya Prabowo melontarkan ejekan jelang debat terakhir.
“Saya ini sebetulnya dalam keadaan was-was, karena tanggal 4 (Februari, red) saya akan debat lagi. Debat terakhir aku dikasih nilai 11 dari 100. Kira-kira dia kasih nilai berapa, ya? Nol kali. Tapi emang gue pikirin. Emangnya lu siape?” kata Prabowo saat memberi sambutan di acara TKN Muda, Jakarta, Jumat (2/2/2024).
“Ya, semua calon bisa menyampaikan visi misi substansial, tidak terjebak pada debat yang apa, yang terlalu personal,” katanya di sela-sela kunjungan kerja di Bandung, Jawa Barat, dikutip dari detikcom, Sabtu (3/2/2024).
Etika dan etiket debat memang menjadi ciri debat pilpres kali ini. Presisen Jokowi pun menitip pesan agar tidak menyerang personal.
“Ya, semua calon bisa menyampaikan visi misi substansial, tidak terjebak pada debat yang apa, yang terlalu personal,” kata Jokowi di sela-sela kunjungan kerja di Bandung, Jawa Barat (3/2/2024).
Brazil memberi contoh betapa debat yang bersifat personal bisa memperkeruh politik nasional.
Capres Bolsonaro dan Lula pada Pemilu 2022 menggunakan debat sebagai sarana menyerang kehidupan pribadi masing-masing.
Tanggal 28 Oktober 2022 menjadi momen debat final kedua lawan politik tersebut. Keduanya tidak menggunakan acara tersebut sebagai ruang presentasi program – seperti rencana penguatan ekonomi, eradikasi korupsi, dan pelestarian lingkungan – melainkan ujaran pusaran saling lempar hinaan.
Lula menghina Bolsonaro sebagai pedofil dan kanibal akibat sejumlah kebijakan politiknya. Sebaliknya, Bolsonaro menghina Lula sebagai penjahat dan penyembah setan.
Bagi kelompok masyarakat yang belum menentukan pilihan (swing-voters), hal ini justru membuat mereka pesimis terhadap calon pemimpin yang harus mereka pilih.
Indonesia mewajibkan capres dan cawapres untuk mengikuti debat pilpres, sebagaimana dalam Peraturan KPU (PKPU) 15/2023. Pengecualian dengan alasan ibadah. Jika tidak aturan ini, mungkin bisa dimanfaatkan untuk tidak ikut debat.*** (O Gozali)