Ganjar dalam sambutannya mengaku senang ketika mendengar SI akan menggelar kongres di Surakarta. Ia tidak menjelaskan bagaimana rasa senang itu bisa muncul tetapi ia membayangkan adanya semangat baru yang lahir dari kongres tersebut. Apalagi tema kembali ke Laweyan seakan membawa ingatan tentang bagaimana SI dibidani dan lahir di Surakarta, banyak pedagang batik besar lahir, sampai kemudian kelahiran tokoh-tokoh pemikir dan pergerakan dari Jawa Tengah.
“Jika boleh membandingkan, masa-masa itu (awal berdirinya SI) sama persis dengan saat ini. Yaitu masa penyiapan mental, pengetahuan, dan keberanian untuk memasuki society 5.0. Itu tantangan yang dihadapi sangat besar sekali,” katanya.
Untuk menghadapi tantangan masa depan itu, Ganjar mengatakan bahwa industri batik yang ada harus masuk ke era 4.0. Sementara komunitasnya harus bisa masuk society 5.0. Persaingannya berat dan besar maka teknologi musti masuk, cara berdagang mesti baru, dan desain mesti mengajak lagi anak-anak muda, sehingga persaingan karya cipta dalam konteks batik berkembang pesat.
“Kepesatan itulah akhirnya bisa tampil gaya batik seperti yang saya pakai, Solo banget, atau yang dipakai Gus Menteri (Yaqut) Lasem banget. Itu sebenarnya pertunjukan karya dan produk budaya yang bagus sekali,” kata Ganjar.
Lebih lanjut, Ganjar juga menekankan bagaimana target yang dimiliki SI untuk meningkatkan perekonomian kaum muslim. Hal itu menjadi sangat kontekstual dan menjadi jawaban dari kebutuhan umat pada zaman sekarang. Terlebih ketika SI mendeklarasikan kembali ke khittoh berdakwah melalui jalur perekonomian, tentunya dengan mengikuti perkembangan zaman dan teknologi.
“Jika itu semua itu bisa dilakukan, betapa dahsyatnya kelak pengaruh yang dilahirkan. Misal kelak SI mau mendampingi UMKM di mana small skill business ini menjadi idola dunia karena mereka cukup mandiri dalam berekonomi tinggal bagaimana fasilitas itu diberikan,” katanya.