SERAYUNEWS– Wakil Presiden ke-9 RI Hamzah Haz wafat di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, Rabu (24/7). Jenazah dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga di Cisarua Bogor, Jawa Barat.
Hamzah Haz menjabat pada periode 2001-2004 mendampingi Presiden Megawati Soekarnoputri.
Hamzah Haz merupakan sosok aktivis yang mulai berorganiasai sejak mengenyam pendidikan di sekolah menengah pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA) di Pontianak.
Sebelum terjun ke politik, Hamzah Haz sempat menjadi wartawan surat kabar Pontianak, Harian Bebas, serta menjadi Pemimpin Umum Harian Berita Awau.
Dia kemudian melanjutkan pendidikan di Akademi Koperasi Yogyakarta sebelum kembali ke Pontianak menyelesaikan studi di Jurusan Ilmu Perusahaan Fakultas Ekonomi Universitas Tanjungpura.
Hamzah Haz banyak menulis pemikirannya di media besar nasional seperti Kompas, Republika, dan Tempo pada tahun 1980-an dan 1990-an. Dia mengutamakan pemikiran kebangsaan yang rasional dan nyata.
Ingat kejadian pada pertengahan 2000-an atau 2005? Pro kontra kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) memuncak.
Hamzah Haz yang saat itu menjabat sebagai Ketua Umum PPP terlibat langsung dalam lobi-lobi untuk mengatasi krisis APBN sekaligus potensi krisis politik. Dia mendukung kenaikan harga BBM dengan alasan rasional, meskipun keputusan tersebut tidak populer.
“Hamzah Haz ikut mendinginkan suasana dan meskipun tidak populer kemudian menyetujui kenaikan harga BBM dengan alasan kenaikan tersebut sebagai pilihan rasional,” kata Didik J Rachbini, dalam siaran persnya, Rabu (24/7/2024).
Didik menilai Hamzah Haz adalah pemimpin yang mendukung kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy). Dia menentang politik populis yang tidak rasional, karena dapat menyebabkan krisis politik yang lebih besar dan krisis ekonomi rakyat.
Menurut Didik, politikus sekarang justru mengeruk APBN dan mendulang utang di luar kemampuan membayarnya. Oleh karena itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani perlu bersikap rasional seperti Hamzah dalam pengelolaan APBN.
Kini, dengan kepergian Hamzah, kata Didik, tak ada lagi sosok penjaga APBN di tengah kesalahan pengelolaan APBN.
“Selain rusak karena kesalahan politik dan kebijakan di pusat, APBN juga menjadi target korupsi dan bancakan yang masif di banyak daerah kabupaten/kota, provinsi serta di banyak kemenetrian dan lembaga negara,” ungkapnya.***(O Gozali)