Purwokerto, serayunews.com
Niko, sapaan Aniko Nugrahaning tampak menyimak acara wisuda dengan didampingi kakaknya, Rafida yang duduk persis di belakangnya. Meski duduk di kursi roda, Niko tetap terlihat gembira menunggu giliran untuk mengikuti proses wisuda.
“Alhamdulillah bisa menyelesaikan kuliah, karena terus terang tidak mudah bagi saya menjalani rutinitas kuliah selama ini. Beruntung, teman-teman serta pihak kampus selalu memberikan support, sehingga saya bisa menyelesaikan kuliah tepat waktu,” tuturnya.
Anak bungsu dari dua bersaudara ini menuturkan, sejak lahir ia mengalami gangguan pada otak tengah. Efeknya dia tak bisa memggerakkan kedua telapak kakinya. Tangannya juga mengalami gangguan, sehingga tidak bisa menulis dengan baik. Namun, kondisi tersebut tidak menyurutkan semangatnya untuk menempuh pendidikan.
Baca juga: [insert page=’universitas-muhammadiyah-purwokerto-kini-punya-seorang-guru-besar-profesor-longsor’ display=’link’ inline]
“Pendidikan itu penting dan di UMP ini saya mendapatkan banyak ilmu serta pengalaman. Banyak teman-teman bertukar pikiran, wawasan bertambah dan lain-lain,” katanya.
Niko mengakui, tetap ada kendala selama menjalani kuliah. Terlebih saat Fakultas Hukum belum ada lift. Untuk menuju ruang kuliah di lantai 3, ia harus digendong oleh teman-temannya dan teman lainnya membawakan kursi rodanya sampai ke lantai 3.
“Suka-dukanya banyak, tetapi lebih banyak sukanya karena teman-teman juga selalu membantu, terlebih kemudian pihak kampus memberi sarana lift. Sehingga semakin mempermudah ruang gerak saya,” kata mahasiswa yang lulus dengan IPK 3,09 ini.
Tak hanya Niko yang menjalani proses wisuda dengan penuh rasa haru, Ema Muhtiani yang datang dengan naik becak yang dikendarai ayahnya, Mahrudin Jatun juga terus mengucap syukur bisa menyelesaikan kuliah. Ema yang sejak kecil sudah bercita-cita menjadi guru ini, tak pernah merasa malu dengan kondisi orangtuanya. Ayahnya seorang tukang becak dan ibunya, Sudiyah membantu ekonomi keluarga dengan menjadi asisten rumah tangga (ART).
“Awalnya memang sempat minder, tetapi lingkungan teman-teman di UMP ini baik-baik semua. Tidak pernah memandang strata sosial dalam bergaul,” kata bungsu dari dua bersaudara ini.
Proses kuliah Ema tidaklah mudah, ia harus berhemat, terlebih saat tiba waktu membayar uang kuliah. Ayahnya, Mahrudin juga menuturkan, selama membiaya anaknya kuliah, kehidupan keluarganya juga harus berhemat.
“Penghasilan saya dari narik becak hanya Rp25.000–Rp30.000 per hari, terkadang sering kesulitan membayar SPP, tetapi pihak UMP banyak memberikan kelonggaran. Sehingga anak saya bisa menyelesaikan kuliah dan menjadi sarjana,” kata Mahrudin bangga.
Sementara itu, Rektor UMP, Dr Jebul Suroso mengatakan, banyak keistimewaan pada wisuda ke-70. Selain dua wisudawan istimewa tersebut, wisuda kali ini juga dihadiri jajaran pemerintah dari Bangka, Belitung, dan Pangandaran. Ketiga daerah tersebut sudah bersepakat dengan UMP untuk memberikan beasiswa kepada putra daerah yang berprestasi guna menempuh pendidikan di UMP.
“Jadi UMP membuka program studi di luar kampus utama pada tiga daerah tersebut, Bangka, Belitung, dan Pangandaran,” kata Rektor.
Jebul Suroso juga menyebut, UMP ramah difabel serta selalu memberikan kemudahan bagi mahasiswa yang kurang mampu. Sehingga mahasiswa dari berbagai latar belakang ekonomi, bisa menyelesaikan kuliah di UMP.