Ini kisah puluhan tahun lalu, kala negeri ini belum merdeka, kala masih ada di cengkeraman Belanda. Kisah tentang pilu karena kemiskinan menjerat, kemelaratan memuncak, para pengemis membanjiri Banyumas Raya.
Tahun 1929, ada masa di mana efek Perang Dunia I mulai terasa. Saham di Bursa Efek New York anjlok. Ekonomi dunia lesu. Situasi krisis ekonomi berkepanjangan. Orang Eropa menyebutnya dengan “Malaise” yang oleh orang Jawa diplesetkan dengan zaman meleset. Sebab, usaha di masa itu sering meleset.
Perusahaan swasta di Hindia Belanda pun bangkrut. Harga makanan umbi-umbian, gula, dan beras yang diekspor juga anjlok. Padahal, perekonomian Hindia Belanda sangat bergantung pada ekspor bahan-bahan mentah.
Saat hasil produksi membengkak, pasar lesu. Pada 1931, tak ada negeri lain yang mau mengimpor barang-barang dari Hindia Belanda. Makin terpuruklah para petani Hindia Belanda. Di tengah situasi itu, bunga yang harus dibayar petani Jawa tak berubah. Makin menyusahkan.
Rentetan cerita itu menambah pilu situasi sebelumnya yang tak mengenakkan. Pada 1921, ada kenaikan pajak rakyat sebesar 40 persen di Jawa dan Madura. Kebijakan yang terjadi di masa Gubernur Jenderal Fock itu jelas menyengsarakan rakyat.
Depresi di seluruh dunia juga berimbas ke Banyumas Raya. Pada tahun 1933, pabrik-pabrik Kalibagor, Klampok, Sumpuih, Purwokerto, dan Bojong semua ditutup. Perekonomian pun kelimpungan. Sumber mata pencarian warga di pabrik, perkebunan, lenyap.
Di masa itulah, kemiskinan menjerat wilayah Banyumas Raya atau area di Banjarnegara, Banyumas, Purbalingga, Cilacap. Kemiskinan yang merebak membuat banyak pengemis berkeliaran di daerah perkotaan. Pengemis tua dan bahkan anak-anak muncul di jalan-jalan. Mereka membanjir khususnya di Minggu.
Kemiskinan itu kemudian bertalian dengan kesehatan. Banyak warga di Banyumas Raya yang mengalami kekurangan gizi. Penyakit kulit, flu, malaria menjadi musuh di tengah kemiskinan saat itu. Kondisi kemiskinan dan kesusahan itu berangsur membaik pada 1936.
Referensi : Diska Meizi Arinda, Ufi Saraswati, Abdul Muntholib. 2017. Krisis Ekonomi di Banyumas 1930-1935 Sampai Perpindahan Pusat Pemerintahan dari Banyumas ke Purwokerto Tahun 1937 Jhon S Furnivall. 1937. Hindia Belanda: Studi Tentang Ekonomi Majemuk Soegeng Wijono. 2002. Banjoemas Riwajatmoe Doeloe. Soegeng Wijono. 2007. Sejarah Banyumas.