SERAYUNEWS—- Sungguh miris, jika kita melihat hasil temuan Survei Penilaian Integritas (SPI) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Survei menyatakan sebagian guru sudah mengetahui bahwa calon siswa yang tidak memenuhi syarat tetapi mereka terima di sekolah pada proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).
Hasil survei menunjukkan sebanyak 43 persen guru menyatakan ada calon siswa yang tidak memenuhi syarat tetapi mereka terima di sekolah.
Kemudian, sebesar 25 persen menyatakan tahu calon siswa bersangkutan mereka terima karena memberi imbalan kepada pihak sekolah.
“Guru mengatakan 25 persen siswa yang diterima di tempat kami itu diterima karena memberikan imbalan pada pihak sekolah sehingga diterima,’ 25 persen menjawab seperti itu,” papar Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Wawan Wardiana dalam siaran YouTube FMB9ID_IKP, Senin (1/7/2024).
SPI sebenarnya bertujuan untuk penanaman nilai-nilai antikorupsi dan integritas di lingkungan sekolah sejatinya merupakan untuk mencegah korupsi sejak dini.
“Setiap tahun sejak 2022 SPI Pendidikan ini dilakukan untuk memotret kondisi integritas lembaga pendidikan kita,” ujar Wawan.
Wawan menekankan pentingnya penanaman integritas di lingkungan sekolah, termasuk dalam proses PPDB. Pun demikian orang tua maupun wali siswa juga perlu memahami dan memiliki integritas.
“PPDB ini memiliki jalur prestasi, zonasi, afirmasi, dan mutasi. Yang tidak boleh adalah koneksi dan gratifikasi. KPK berupaya menjaga agar kedua hal ini tidak terjadi,” tegasnya.
Wawan juga menyinggung soal pelanggaran hukum lain, ia menyebut mulai jual-beli bangku, pungutan uang baju atau bahan seragam, hingga pungutan daftar ulang termasuk dalam pelanggaran yang kerap ada dalam aduan ke Ombudsman RI setiap tahunnya.
Selain itu, Wawan menjelaskan sejumlah temuan dari Ombudsman RI. Ternyata, ada pemalsuan pada identitas atau domisili di PPDB jalur zonasi, hingga pemalsuan dokumen di jalur prestasi.
Hal ini ternyata masuk ke dalam ranah tindak pidana, karena termasuk dalam sebuah kecurangan.
“Tidak kalah penting adalah penegakan (hukum). Dalam hal ini, kalau memang terjadi pelanggaran-pelanggaran di PPDB ini, pihak inspektorat dan dinas pendidikan harus berani mengambil tindakan juga. Karena di beberapa daerah, yang kita dengar, kasus-kasus yang kita lihat itu sebetulnya sudah masuk pidana. Pemalsuan dokumen, gitu ya,” kata Wawan.
Maka itu, ia menilai inspektorat dan dinas pendidikan perlu turun tangan dalam menyikapi temuan tersebut. Kemudian, nantinya inspektorat dan Disdik bisa bekerja sama dengan aparat penegak hukum.
“Itu udah (perbuatan) pidana kan sebetulnya. Kalau itu terjadi, bukan hanya sosialisasi yang dilakukan oleh inspektorat dan dinas pendidikan, tapi kalau itu sudah terjadi, maka harusnya ada tindakan,” kata Wawan.*** (O Gozali)