SERAYUNEWS – Agus Salim, “The Grand Old Man”, sering berpesan, ‘Memimpin adalah menderita’ (Leiden is lijden).
Saat ini kredo tersebut berubah menjadi ‘Memimpin adalah menikmati’
Demokrasi dipakai sebagai alat untuk mendahulukan kepentingan lapis tipis oligarki penguasa-pemodal ketimbang kepentingan rakyat kebanyakan (demos).
Demokrasi tidak lagi mengikuti definisi Abraham Lincoln, ‘government of the people, by the people, and for the people’ (pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat).
Tetapi terpleset menjadi government of the people (pemerintahan terputus dari rakyat), buy the people (membeli rakyat), dan force the people (menekan rakyat).
Kekuasaan ‘tirani modal’ pada akhirnya hanya mempersoalkan bagaimana caranya menang dan mendapatkan keuntungan.
Mereka tak pedulikan etika, yang terpenting hukum yang dibuat justru untuk kepentingan penguasa.
Padahal, seharusnya dalam demokrasi hukum berenang di lautan etika.
Pada akhirnya Pemilu yang dianggap stempel demokrasi, tak lebih hanya jadi ajang lelang pendahuluam barang curian.
Hanya dengan etika kita bisa membedakan mana politisi berjiwa negarawan dan mana politisi berjiwa ‘sumbu pendek’
Seorang politisi berpikir tentang Pemilu yang akan datang, seorang negarawan berpikir tentang generasi yang akan datang. (James Freeman Clarke, Teolog & Penulis AS).
Sah untuk dikatakan pemimpin saat ini tidak memikirkan generasi berikutnya.
Ada tiga tradisi etis yang harusnya dimiliki para pemimpin, yaitu budaya rasa bersalah, budaya malu dan budaya takut.
Dari ketiga budaya etis itu, sepertinya saat ini tak satu pun yang tumbuh kuat di negeri ini. Rasa bersalah tumpul, rasa malu pudar, rasa takut redup.
Akhirnya, demokrasi tanpa etika, seperti dalam aliran sungai, hal-hal sepele mengambang di permukaan, sambil membiarkah hal-hal berbobot substantif tenggelam.*** (O Gozali)