SERAYUNEWS— Jayabaya pernah meramalkan bahwa Pulo Jawa pecah dadi loro (Pulau Jawa terbelah menjadi dua karena bencana yang tak terduga). Banjir di Demak pun orang hubungkan dengan ramalan Jayabaya ini, terutama dengan spekulasi tentang kemungkinan kembali munculnya Selat Muria.
Banjir yang semakin parah, sedikitnya ada 88 desa terendam memunculkan spekulasi tentang kembalinya munculnya Selat Muria yang sempat hilang karena mengalami kekeringan. Selat Muria merupakan selat yang pernah ada dan menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Muria.
Sebagai informasi, selat ini adalah jalur perdagangan dan transportasi yang ramai. Kemudian, selat itu menjadi jalan antara masyarakat yang tinggal di Pulau Jawa dengan masyarakat yang tinggal di pulau-pulau lainnya.
Denan adanya selat tersebut, masyarakat yang ingin bepergian antara Kudus dan Demak harus menggunakan kapal. Keberadaan selat ini pulalah yang dahulu membuat Kerajaan Demak menjadi kerajaan maritim.
Selat Muria adalah kawasan yang eksis sebelum abad ke-19 atau tahun 1800-an sebagai perairan dan mengelilingi Pulau Muria yang kini sudah jadi daratan. Perlu kita ketahui, topografi peta zaman sekarang dengan zaman dahulu memiliki perbedaan.
Sebelum tahun tersebut, Selat Muria adalah wilayah perairan yang memisahkan pulau vulkanik Gunung Muria dengan Pegunungan Kendeng di Pulau Jawa. Selat ini memanjang dari Timur ke Barat yang berada di sepanjang wilayah yang kini orang kenal sebagai Demak, Kudus, Pati, dan Rembang.
Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Jaringan Asia (1999) menjelaskan, di akhir abad ke-16, Selat Muria jadi daerah kunci pesisir utara Jawa. Kota-kota di sepanjang pantura Timur Jawa Tengah, seperti Demak, Jepara, Kudus, Juwana dan Rempah adalah pusat perniagaan laut. Daerah-daerah tersebut jadi pusat ekonomi, politik, keagamaan, yang kala itu berada dalam kekuasaan Kesultanan Demak di bawah kuasa Pangeran Trenggana.
Pusat keemasan ini lantas berlanjut di era pemerintahan Ratu Kalinyamat tahun 1549-1579. Bahkan dalam kuasa Kalinyamat, daerah tersebut, khususnya Jepara, berkembang menjadi bandar niaga utama di Pulau Jawa yang melayani ekspor impor. Selain itu, berdiri juga pelabuhan militer yang kelak mengusir Portugis saat mau menjajah wilayah Demak.
Tètapi sejak abad ke-17 Selat Muria mengalami pendangkalan sehingta tak bisa digunakan sebagai transportasi laut. Pendangkalan semakin meluas hingga menjadi tempat hunian dan perkebunan baru oleh masyarakat. Tempat hunian inilah yang membentuk wilayah-wilayah baru yang berada di kawasan Demak, Pati, dan Kudus.
Atas dasar ini, banyak orang mempercayai bahwa sejarah akan terulang kembali. Selat Muria, yang dahulu perairan lalu berubah jadi daratan, bakal kembali lagi jadi perairan imbas banjir yang terus meningkat.
Menurut Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM),
Selat Muria yang menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Muria dahulu tidak mungkin terbentuk dalam waktu dekat atau bisa terbentuk kembali melalui proses geologi yang dahsyat, seperti gempa bumi tektonik dengan berkekuatan besar.
“Meski terjadi penurunan tanah di daerah Demak dan sekitarnya, Selat Muria bukan berarti akan terbentuk kembali dalam waktu dekat. Banjir saat ini yang lama surut, lebih dipengaruhi oleh iklim yakni curah hujan yang tinggi, adanya kerusakan infrastruktur,” kata Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Muhammad Wafid mengutip webiste Kementerian ESDM, Minggu (24/4/2024).
Menurut Wafid, Graben Land Subsidence atau penurunan tanah tidak cukup sebagai faktor penyebab Selat Muria terbentuk kembali. Jikapun terjadi akan memerlukan waktu yang sangat lama (skala waktu geologi; ratusan sampai ribuan tahun) dan kecepatan penurunannya harus seragam mulai dari Demak hingga Pati.
“Secara teori, Selat Muria mungkin saja terbentuk kembali, yakni apabila terjadi proses geologi yang dahsyat, misalnya terjadinya gempa bumi tektonik berkekuatan sangat besar yang menyebabkan terjadinya amblasan tiba-tiba (graben) dan mencakup areal yang luas,” ungkap Wafid.*** (O Gozali)