Melihat gelagat Presiden Jokowi belakangan ini cukup untuk memprediksi beliau tidak akan keras kepada kepentingan oligarki yang akut menjangkit partai politik. Meski KPK tetap dengan kewenangan dan timnya saat ini, upaya penggembosan terhadap pemberantasan korupsi bakal tak terbendung dalam periode kedua kepemimpinan Jokowi.
Bukan tak mungkin akan terjadi drama cicak vs biaya berjilid-jilid. Ini tidak baik. Karena model pemberantasan ala cicak melawan buaya tidak benar-benar menguntungkan publik. Yang terjadi bukan korupsi diberantas tapi show pemberantasan korupsi.
Tidak apa-apa Presiden tidak jadi menerbitkan Perpu. Itu bisa dimanfaatkan masyarakat sipil untuk terus menyalakan bara api pemberantasan korupsi sepanjang lima tahun ke depan. Semangat ini perlu digelorakan kepada publik agar tak berhenti melawan oligarki politikus yang korupsinya kelewatan. Korupsi yang berkelindan dengan elit politikus telah membakari hutan menciptakan bencana asap, mencemari air, gizi buruk anak-anak, dan merusak lingkungan hidup.
Presiden tidak menerbitkan Perpu KPK juga baik untuk independensi media mainstream. Sebagian besar media adalah pro-pemberantasan korupsi atau pro-KPK. Dan sikap gamang Presiden Jokowi terhadap upaya pemberantasan korupsi membuat marah media-media mainstream. Belum pernah dalam lima tahun terakhir media mainstream “semarah” ini kepada Jokowi.
Era Presiden SBY dan Jokowi periode pertama, presiden kerap membela KPK. Entah kebetulan, harmonisnya presiden dengan KPK bersamaan dengan harmonisnya media mainstream dengan eksekutif. Publik merasakan dalam satu dasawarsa terakhir media mainstream begitu mudah dirangkul eksekutif (presiden) untuk isu-isu yang seharusnya media bisa lebih kritis. Ada saja argumentasi redaksinya.
Kesan yang tertangkap, media kurang garang pada sebuah kebijakan pemerintah sebelum ada kasus korupsi yang diendus KPK. Padahal kelompok masyarakat sipil berkali-kali memprotes kebijakan yang tidak pro kepentingan publik.
Tapi itu kemarin-kemarin. Kini hubungan manis media dan penguasa sepertinya di tubir jurang manakala UU KPK baru diketok DPR dan Pemerintah baru-baru ini. Media geram. Salah satunya Majalah Tempo yang berani menggambar bayang pinokio di belakang gambar kepala Presiden Jokowi. Pinokio adalah ikon anak gampang berbohong dalam dongeng rakyat Italia.
Imbas media marah, publik disuguhi sikap-sikap garang media yang merundung presiden dengan berbagai jurus jurnalisme lewat karikatur hingga angle-angle tajam headline koran dan majalah. Publik yang kerap dirugikan negara dan selama ini tidak mendapat ruang di media mainstream, mendadak mendapat angin surga.
Nah dengan momentum retaknya hubungan media mainstream dengan penguasa, publik perlu bersyukur. Masyarakat sipil yang kritis, seperti Dhandy Dwi Laksono atau lakon baru Ananda Badudu, bakal mendapatkan ruangnya di tengah pemberitaan nasional. Juga kelompok mahasiswa yang tiba-tiba disanjung media mainstream. Padahal selama ini rasa-rasanya mahasiswa sulit mendapatkan panggung di pemberitaan nasional.
Adanya pendzaliman terhadap gerakan pemberantasan korupsi berimbas pada publik mudah menyampaikan ekspresi kritisnya di media. Ketika Dhandy dan Badudu ditangkap, awak jurnalis bergerak cepat dan menggaungkan pembelaan kepada dua aktivis tersebut.
Jika presiden menolak menerbitkan Perpu. Haqqul yaqin hubungan media mainstream dan aktivis setipe Dhandy jauh lebih harmonis. Itu berarti media mainstream bakal lebih kritis kepada pemerintah. Sekritis Dhandy. Atau sekritis kampret –sebutan kelompok pendukung Calon Presiden Prabowo- menguliti Jokowi dalam format yang lebih elegan dan berani dipertanggungjawabkan.
Garangnya media adalah positif buat publik. Saya membayangkan ke depan pemerintah akan mendapatkan tamparan keras dari media ketika menaikkan tarif listrik, tarif tol, utang negara menumpuk, fasilitas mewah pejabat negara dan BUMN, dan inflasi kebutuhan pokok yang tak kunjung stabil.
Selama ini publik sulit disuguhi karya jurnalistik yang membela hak-haknya. Bukan tidak ada, tapi kenyataannya sulit mendapatkannya. Selama ini media seperti lebih mudah memahami alasan pemerintah menaikkan ini itu ketimbang memahami penderitaan orang sipil yang kere.
Nah, itu tak akan terjadi jika masyarakat sipil berhasil “menceraikan” media mainstream dengan pemerintah lewat isu KPK ini. Jadi gak perlu berkecil hati jika pemberantasan korupsi dikebiri oleh Presiden karena kita umat beragama yang pandai dan mudah mengambil hikmah dari bencana.
Terbitkan Perpu, alhamdulillah. Tidak menerbitkan Perpu, saatnya masyarakat sipil berkoalisi dengan media, dan genderang super kritis terhadap kebijakan pemerintah ditabuh.
Lantas kalau media mainstream tetap main mata dengan Presiden meski Perpu KPK tak terbit, bagaimana? Ya ngga gimana-gimana, kan, sudah biasa…
BAR