SERAYUNEWS- Gelombang demonstrasi yang berujung anarkis beberapa hari terakhir mengguncang kehidupan nasional.
Situasi ini membuat Presiden RI, Prabowo Subianto, segera mengambil langkah dengan mengundang pimpinan ormas Islam untuk memberikan pengarahan agar umat tetap tenang.
Sementara itu, Menteri Agama Nasaruddin Umar juga menyerukan pentingnya menjaga stabilitas bangsa dengan kepala dingin.
Dosen UIN Prof. K.H. Saifudin Zuhri Purwokerto, Dr. Karimatul Khasanah dalam artikelnya menyebut, persoalan persatuan bangsa tidak bisa dilepaskan dari perspektif fiqih siyasah.
Dalam fiqih, keberadaan pemimpin merupakan kebutuhan dasar umat. Tanpa kepemimpinan, ketidakstabilan politik justru lebih berbahaya dibanding kekurangan yang mungkin ada dalam pemerintahan.
Kaidah fiqhiyyah mengingatkan:
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
(Menghindari kerusakan lebih utama daripada meraih kemaslahatan).
Artinya, menghindari anarkisme harus menjadi prioritas, tanpa menutup ruang kritik dan koreksi terhadap pemimpin.
Dr. Karimatul menegaskan bahwa seruan menenangkan umat harus dibarengi kebijaksanaan pemimpin. Ada tiga hal utama yang perlu diperhatikan:
1. Menjauhi Hedonisme dan Flexing
Al-Qur’an mengingatkan:
“Dan janganlah kamu bermegah-megahan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi membanggakan diri” (QS. Luqman: 18).
Nabi Muhammad SAW juga bersabda:
“Bukanlah kaya itu karena banyak harta, tetapi kaya adalah kaya hati” (HR. Bukhari-Muslim).
Pesan ini sejalan dengan sila kelima Pancasila, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, yang menuntut pemimpin hidup sederhana agar dekat dengan rakyat.
2. Meninjau Ulang Kebijakan yang Tidak Adil
Inti maqāṣid al-syarī‘ah adalah menegakkan keadilan dan melindungi masyarakat dari kezhaliman.
Al-Qur’an menegaskan:
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk berlaku adil” (QS. Al-Nahl: 90).
Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Pemimpin yang paling dicintai Allah adalah pemimpin yang adil” (HR. Tirmidzi).
Prinsip ini sejalan dengan sila kedua Pancasila, “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, yang mewajibkan kebijakan publik berorientasi pada kepentingan rakyat banyak, bukan segelintir pihak.
3. Mendengar Aspirasi dengan Bijak
Ruang aspirasi rakyat tidak boleh ditutup. Al-Qur’an memuji orang beriman yang menyelesaikan urusan dengan musyawarah (QS. Asy-Syura: 38).
Nabi Muhammad SAW sendiri selalu mendengar pendapat sahabat, bahkan dalam situasi perang. Prinsip ini sejalan dengan sila keempat Pancasila, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.”
Sejarah Islam mencatat bahwa perubahan tidak selalu lahir dari jalur kekerasan. Rasulullah SAW saat di Makkah memilih jalan dakwah dan kesabaran, bukan benturan fisik.
Contoh lainnya, Perjanjian Hudaibiyah (628 M) yang semula dianggap merugikan, justru membuka jalan Fath Makkah tanpa pertumpahan darah.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717–720 M) juga memberi teladan. Ia menolak gaya hidup mewah istana, melakukan reformasi fiskal, dan menegakkan keadilan sosial.
Hanya dua tahun memimpin, namun meninggalkan warisan monumental berupa kesejahteraan rakyat.
Pelajaran dari sejarah Islam menunjukkan bahwa perubahan besar bisa ditempuh dengan damai dan konstitusional. Jalan anarkis justru merusak fondasi bangsa.
Karena itu, ulama dan tokoh agama harus hadir sebagai pendingin suasana, bukan pemicu konflik. Kritik tetap perlu, tetapi harus disampaikan dengan hikmah.
Indonesia adalah rumah besar yang dihuni beragam agama, budaya, dan aspirasi politik. Tugas bersama adalah merawat rumah ini dengan kearifan, kesabaran, dan kebersamaan.
Pemimpin harus sederhana, adil, dan terbuka. Rakyat wajib menyampaikan aspirasi lewat jalur konstitusi. Ulama dituntut menjadi penyejuk umat.
Sejarah Islam sudah membuktikan, perubahan besar bisa lahir tanpa anarkisme. Kini, giliran Indonesia membuktikan hal yang sama.