SERAYUNEWS— Pada1948 para politisi saling bertengkar, tensi meningggi. Sukarno ingin mendamaikan semua. Kebetulan saat itu bertepatan dengan pertengahan Ramadan.
Sukarno meminta saran KH Wahab Chasbullah, untuk mengatasi situasi politik Indonesia yang tidak kondusif.
Kiai Wahab memberi saran kepada Bung Karno untuk menyelenggarakan silaturahmi. Bung Karno menganggap silaturahmi itu sudah biasa, dia ingin istilah yang lain.
“Itu gampang. Begini, para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturrahmi nanti kita pakai istilah halalbihalal”, jelas Kiai Wahab, melansir dari NU Online 25 April 2023.
Atas saran ini, kemudian Bung Karno pada Idulfitri saat itu, mengundang semua tokoh politik untuk datang ke Istana Negara untuk menghadiri silaturahmi. Dia memberi judul acara itu halalbihalal.
Penjual Martabak
Dalam riwayat lain, ada seorang penjual martabak asal India yang mempromosikan dagangannya di sekitar taman Sriwedari Solo (tahun 1935-1936) dengan menyebut martabak semakin lebar alias halal bihalal.
Pada saat itu martabak tergolong makanan yang baru dan penjual dari India kenalkan. Munculnya kata halalbihalal berawal dari pribumi yang mempromosikan martabak orang India tersebut dengan cara berteriak.
“Martabak Malabar.. halal bin halal.. halal bin halal.”
Istilah ini kemudian populer di masyarakat Solo, terutama ketika akan ke Sriwedari pada hari Lebaran. Istilah halalbihalal lantas berkembang menjadi sebutan untuk tradisi bermaafan di hari Lebaran.
Pendapat ini semakin kuat dengan adanya kata halal behalal dan alal be halal dalam kamus Jawa-Belanda terbitan tahun 1938 karya Dr. Th. Pigeaud.
Masih ada beberapa versi lain, yang akhirnya istilah ini dibakukan ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang memiliki arti hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan, biasanya diadakan di sebuah tempat (auditorium, aula, dan sebagainya) oleh sekelompok orang.
Halal bi halal tidak dapat kita artikan secara harfiah dan satu persatu antara halal, bi, dan halal. Tidak akan menemukan arti yang semestinya.
Secara istilah, kata halal berasal dari bahasa Arab yaitu halla, yang memiliki tiga makna yakni halal al-habi (benang kusut terurai kembali), halla al-maa (air keruh diendapkan), dan halla as-syai (halal sesuatu).
Dari ketiga makna tersebut, dapat kita tarik kesimpulan, makna halalbihalal adalah kekusutan, kekeruhan atau kesalahan yang selama ini dapat menjadi halal kembali. Artinya, semua kesalahan melebur, hilang, dan kembali sedia kala.*** (O Gozali)